KEDIRI – Harapan hidup layak bagi puluhan pedagang kaki lima (PKL) eks Patiunus Kota Kediri kian memudar. Setelah lapak mereka dibongkar, yang tersisa hanyalah janji bantuan dari pemerintah yang hingga kini belum juga terealisasi. Di tengah ketidakpastian, para PKL hanya bisa bertahan hidup dari sisa-sisa pendapatan yang terus menurun drastis.
Triyo, Ketua Paguyuban PKL Patiunus, menuturkan bahwa sejak pembongkaran, banyak anggota paguyuban kesulitan memulai kembali usahanya. Pemerintah memang sempat menawarkan relokasi ke beberapa pasar tradisional seperti Setono Betek, Bandar, Pahing, dan bahkan area Hutan Joyoboyo. Namun, mayoritas pedagang menolak—bukan tanpa alasan.
“Relokasi bukan solusi. Pelanggan kami terbiasa di Jalan Patiunus. Kalau pindah, belum tentu dagangan laku. Sementara modal sudah habis dan kami tidak punya cukup tenaga untuk membangun usaha dari nol lagi,” ujar Triyo, Selasa (11/6).
PKL Ajukan Bantuan

Dari 24 PKL yang sebelumnya beraktivitas di kawasan tersebut, hanya 20 yang masih aktif dan berdomisili di Kediri. Mereka telah mengajukan permohonan bantuan berupa rombong, tenda, dan sambungan listrik kepada Wali Kota, namun jawaban pemerintah masih sebatas rencana, belum ada kepastian.
Sentot Nugroho, salah satu PKL yang kini mencoba bertahan dengan berjualan di pos kamling Kelurahan Kemasan, mengaku kondisi usahanya jauh dari layak. Pendapatan hariannya kini hanya setengah dari biasanya.
“Dulu bisa Rp50 ribu sampai Rp100 ribu sehari. Sekarang paling Rp30 ribu, itu pun kalau pelanggan lama mampir. Sementara kebutuhan makan, listrik, dan sekolah anak tetap jalan,” keluhnya.
Ia menambahkan, pemerintah sempat menjanjikan konsep “berangkat bersih, pulang bersih” lewat bantuan rombong baru. Tapi dua minggu berlalu, tidak satu pun rombong sampai ke tangan PKL.
“Kami bukan meminta tanpa alasan. Kami ini sudah puluhan tahun berjualan di sini tanpa bikin macet atau banjir. Ironisnya, waktu lapak dibongkar, ternyata tidak ada saluran drainase di bawahnya. Lalu kenapa harus dibongkar?” tanya Sentot dengan nada kecewa.
Kini, hanya tiga pedagang yang berinisiatif membuka kembali dagangannya secara mandiri, sementara mayoritas lainnya masih menggantungkan harapan pada realisasi bantuan yang dijanjikan Pemkot.
Ketika kebijakan publik tidak dibarengi solusi konkret, rakyat kecil seperti PKL hanya bisa menunggu—di antara sisa gerobak yang terlipat dan janji yang belum ditepati. Mereka tak butuh belas kasih, hanya komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah yang katanya hadir untuk semua.
jurnalis : Neha Hasna Maknuna