KEDIRI – Perjalanan hukum sopir bus Harapan Jaya AG 7635 US dikemudikan Malik Alfian (59), warga Desa Purwodadi Kecamatan Kras Kabupaten Kediri, terlibat dalam kecelakaan tragis di Perempatan Baruna Kota Kediri, 31 Januari lalu, mencapai babak penting.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri menjatuhkan vonis yang lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Kediri. Dalam sidang putusan yang digelar Rabu (18/6) di ruang Chandra, terdakwa resmi divonis tiga tahun penjara.
Tak hanya itu, hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp12 juta subsider enam bulan kurungan, serta mencabut SIM B Umum milik terdakwa hingga Februari 2029. Vonis ini jauh lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya hanya menuntut dua tahun penjara dan denda Rp3 juta.
Terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, yang mengatur kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa. Dalam putusan itu, majelis hakim menyebut bahwa Malik Alfian, telah mengemudikan bus secara ugal-ugalan dan melanggar rambu lalu lintas.
Sehingga menyebabkan kematian Alfin Setiawan, seorang pedagang asongan yang sedang mencari nafkah di simpang empat Baruna.
“Pembelaan terdakwa agar dibebaskan kami tolak. Unsur pasal yang didakwakan telah terpenuhi,” tegas Ketua Majelis Hakim, Novi Nuradhayanty.
Faktor pemberat dalam putusan ini antara lain adalah sikap sembrono terdakwa yang dianggap mengancam keselamatan umum serta minimnya upaya pembelaan yang menyeluruh. Lebih jauh, kehilangan Alfin yang merupakan tulang punggung keluarga, meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya.
Meski demikian, hakim tetap mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, seperti sikap sopan terdakwa selama proses persidangan, statusnya sebagai kepala keluarga, dan fakta bahwa ia telah menyalurkan santunan sebesar Rp10 juta kepada keluarga korban lewat manajemen PO Harapan Jaya.
Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum terdakwa, Sabar Johnson Situmorang, menyatakan akan mengajukan banding. Ia menilai putusan tersebut terlalu berat, terutama mengingat ini adalah pelanggaran pertama dan tidak ada niat mencelakai dari kliennya.
“Klien kami sudah mendapatkan maaf dari keluarga korban. Kami harap majelis yang lebih tinggi bisa mempertimbangkan hal ini dan memberikan keringanan,” ujarnya.
Dengan putusan ini, SIM B Umum milik terdakwa dinyatakan tidak berlaku hingga awal 2029, sesuai dengan ketentuan Pasal 314 UU Lalu Lintas.
Kisah ini menjadi pelajaran besar tentang pentingnya kehati-hatian di jalan, dan bagaimana satu kelalaian bisa mengubah nasib banyak orang.
jurnalis : Sigit Cahya Setyawan