KEDIRI – Di balik senyum anak-anak yang seharusnya merekah tanpa beban, ternyata tersimpan luka yang tak selalu tampak di permukaan. Dalam dua tahun terakhir, Kabupaten Kediri menghadapi kenyataan pahit: kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak terus meningkat.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) mencatat, kasus yang dilaporkan naik dari sekitar 60 di tahun 2023 menjadi 70 kasus di tahun kemarin.
Peningkatan ini bukan hanya angka, ia adalah suara yang akhirnya terdengar dari balik dinding-dinding sunyi.
“Kami melihat ini sebagai tanda bahwa masyarakat mulai berani bersuara, berani mengungkapkan yang selama ini tertahan,” ujar Nurwulan Andadari, Rabu (18/6).
Tapi di balik keberanian itu, juga terungkap celah besar dalam sistem perlindungan yang masih belum sempurna. Yang menyayat hati, kebanyakan pelaku bukan orang asing. Justru berasal dari lingkaran terdekat, orang yang seharusnya melindungi. Ayah kandung, ayah tiri, kakek, bahkan guru. Mereka yang berdiri lebih tinggi dalam struktur kuasa, menjadikan korban terjebak dalam dilema bisu.
“Sulit bagi anak-anak untuk speak up karena pelakunya adalah sosok yang mereka takuti atau hormati,” lanjut Nurwulan.
Menghadapi kenyataan getir ini, Pemkab Kediri tak tinggal diam. Desa-desa telah diminta memetakan keluarga-keluarga yang rentan, terutama yang kehilangan keseimbangan dalam pengasuhan seperti anak-anak yang ditinggal ibunya bekerja di luar negeri atau mereka yang dibesarkan oleh kerabat tanpa pengawasan yang memadai.
Sebagai tameng awal, kearifan lokal coba dihidupkan kembali. Tradisi aruh-aruh atau nyopo di mana perangkat desa mengunjungi rumah-rumah warga didorong menjadi garda depan deteksi dini.
“Tradisi ini tak hanya membangun kedekatan, tapi juga bisa membuka jalan bagi suara-suara yang tertahan,” jelasnya.
Selain itu, wacana untuk menerapkan screening psikologis bagi pengasuh dan tenaga pendidik mulai digulirkan. Langkah preventif ini masih dalam tahap kajian, namun diyakini bisa menjadi benteng bagi institusi pendidikan yang selama ini dipercaya aman, namun ternyata tak selalu bebas dari bahaya.
Di tengah badai ini, Pemkab Kediri memastikan berbagai jalur pengaduan tetap terbuka. Tenaga Perlindungan Perempuan dan Anak kini hadir di setiap kecamatan. Laporan juga bisa disampaikan melalui kader PKK, kader KB, petugas puskesmas, hingga aparat desa.
Dalam bayang-bayang trauma, harapan masih menyala. Ketika masyarakat berani bicara, ketika pemerintah hadir mendengar, maka perlahan tapi pasti luka bisa disembuhkan. Dan anak-anak, bisa kembali tertawa tanpa rasa takut.
jurnalis : Kintan Kinari Astuti