Transparansi birokrasi adalah kunci untuk mewujudkan keadilan layanan publik. Pendirian rumah ibadah bukan sekadar urusan teknis, tapi menyangkut prinsip konstitusi dan hak asasi manusia. Jika pemerintah sungguh menjunjung nilai toleransi, maka SOP yang jelas dan inklusif bukan sekadar wacana, melainkan keharusan.
KEDIRI – Proses pengajuan izin pendirian rumah ibadah di Kota Kediri kembali menuai kritik. Kali ini, sorotan tajam datang dari Komite Pengarah Wilayah (KPW) Rekan Indonesia Jawa Timur yang menilai proses tersebut penuh ketidakpastian, lamban, dan tidak transparan. Dalam audiensi bersama sejumlah instansi, Rabu (6/8), KPW mendesak agar Pemerintah Kota segera menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang konkret, terukur, dan memiliki tenggat waktu pasti.
Ketua KPW Rekan Indonesia Jatim, Bagus Romadon, mengungkapkan keresahan umat beragama yang ingin mendirikan tempat ibadah. Menurutnya, sejak tahap awal, proses administrasi sudah membingungkan dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
“Bukan soal izinnya keluar atau tidak, tapi sejak awal alurnya sudah kabur. Dinas Perizinan dan PUPR sudah punya SOP—KRK bisa 7 hari, PBG sekitar sebulan, dan SLM 10 hari. Tapi saat masuk FKUB dan Kemenag, SOP-nya tidak jelas sama sekali,” kritik Bagus dengan nada tajam.
Minimnya regulasi teknis di ranah keagamaan ini menjadi lubang besar dalam pelayanan publik, terutama bagi warga yang hendak menjalankan hak konstitusional untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Bakesbangpol Kota Kediri, Miftahur Rozak, mengakui bahwa selama ini prosedur hanya mengacu pada SKB 2 Menteri dan Peraturan Wali Kota. Namun, ia juga menyadari tidak adanya kejelasan teknis soal waktu proses pengajuan.
“Kami sepakat akan menyusun draf SOP dalam 45 hari ke depan. Setelah rampung, akan dibahas kembali bersama semua pihak terkait sebelum diajukan ke Wali Kota untuk disahkan,” ujarnya.
Dari sisi teknis perizinan, Ridwan Ismawan, Penata Izin Ahli Madya DPMPTSP Kota Kediri, menegaskan bahwa pihaknya sudah memiliki SOP yang berjalan. Proses permohonan biasanya berujung pada penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), namun sebelumnya harus melalui tahapan di FKUB dan Kemenag.
Sayangnya, di sinilah bottleneck sering terjadi.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Kediri, Moh. Salim, turut memberikan pernyataan. Ia menyebut bahwa pihaknya membutuhkan waktu rata-rata empat bulan untuk mengeluarkan rekomendasi, dengan catatan tidak terjadi konflik atau dinamika negatif di lapangan.
“Kalau suasana kondusif, rekomendasi bisa selesai kurang dari setengah tahun. Tapi kalau ada provokasi, bisa jadi lebih lama,” ujarnya.
Kondisi ini membuat publik bertanya-tanya: Apakah birokrasi yang terlalu lentur dan tidak terstandarisasi ini justru membuka ruang bagi ketidakadilan dan diskriminasi terselubung? Apalagi, Kota Kediri dikenal sebagai kota dengan tingkat toleransi tinggi, sehingga semestinya menjadi contoh dalam menjamin hak beragama setiap warganya.
jurnalis : Sigit Cahya SetyawanBagikan Berita :









