KEDIRI – Saat sebagian besar penambang pasir tradisional memilih berhenti sejenak karena derasnya debit Sungai Brantas, Budi justru memilih tetap memutuskan menyelam. Berbekal alat seadanya, pria asal Mojokerto ini nekat menantang derasnya arus demi sesuap nasi.
“Kalau banjir ya sebenarnya tidak berani, ini saja maksa karena kebutuhan makan,” ungkap Budi saat ditemui disela istirahat, di tepi bantaran Sungai Brantas, Desa Jong Biru Kecamatan Gampengrejo, Selasa (15/04).
Sudah puluhan tahun, Budi mengaku hidup sebagai penambang pasir tradisional. Meski dia sadar kini mencari pasir di dasar sungai, kini makin sulit ditemukan. Ia tetap menggantungkan harapan pada pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik dan nyali ini.
“Dulu bisa dapat lebih banyak, sekarang sehari cuma satu truk engkel. Itu pun kalau beruntung. Kadang ya cuma cukup buat makan,” jelasnya.
Dari hasil kerjanya, Budi mengaku hanya mendapat upah sekitar Rp50 ribu per hari dari bosnya. Tentunya hasil yang didapat tak sebanding dengan risiko besar dihadapi setiap kali turun ke dasar sungai.
“Resikonya besar, bisa tuli karena tekanan air, atau hanyut, bahkan meninggal. Tapi ya, gimana lagi? demi sesuai nasi untuk keluarga,” ujarnya lirih.
Budi bukan satu-satunya, banyak penambang pasir manual lain datang dari berbagai daerah seperti Jombang dan Mojokerto. Dengan hidup nomaden dari satu titik ke titik lain, dia mengikuti jejak pasir yang masih bisa diambil.
“Kadang pulang-pergi naik bus, kadang nginep. Kalau di sini susah ya pindah tempat,” tambahnya.
Meski penuh risiko, bagi Budi dan para penambang lain, menyelam ke dasar sungai bukan lagi pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan hidup karena jadi satu-satunya mata pencahariannya.
jurnalis : Sigit Cahya Setyawan