Kota Kediri tengah berada di titik balik. Di bawah kepemimpinan duet baru, Vinanda Prameswati dan KH. Qowimuddin Thoha (Gus Qowim), gelombang perubahan mulai digaungkan. Visi besar telah diumumkan, janji-janji politik disampaikan, dan sederet program kerja digeber.
Namun, di tengah semarak slogan dan program unggulan, satu pertanyaan mengemuka: Mampukah mereka benar-benar menghadirkan pemerintahan yang baik (good governance)?
Vinanda dan Gus Qowim datang membawa semangat baru: membangun Kota Kediri yang Maju, Agamis, Produktif, Aman, dan Ngangeni (MAPAN). Lima kata kunci yang dibungkus dalam narasi besar transformasi kota.
Tapi perubahan tak lahir hanya dari visi dan slogan. Komunikasi yang efektif, koordinasi yang solid, dan keberanian bersikap tegas terhadap budaya kerja birokrasi adalah kunci nyata di balik mimpi-mimpi itu.
Sikap tegas terhadap aparatur sipil negara (ASN), upaya membasmi praktik korupsi, serta penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan responsif menjadi tantangan besar. Apakah birokrasi Kota Kediri siap didisiplinkan? Apakah budaya ‘asal jalan’ bisa dirombak menjadi ‘harus berdampak’?
Sebagai langkah awal, duet ini meluncurkan program 100 Hari Kerja, di antaranya peresmian aplikasi “Lapor Mbak Wali”, kanal aduan masyarakat yang memungkinkan warga menyampaikan aspirasi langsung. Ada juga kenaikan insentif untuk RT/RW, kader Posyandu, dan guru ngaji, merupakan gebrakan yang patut diapresiasi, tetapi jangan sampai berhenti sebagai simbol populisme.
Di bidang lingkungan, komitmen ditunjukkan lewat proyek hijau penanaman 10.000 pohon dan karbon trading, yang jika dijalankan serius, bisa menjadi langkah progresif dalam menghadapi isu perubahan iklim di level kota. Sementara di sektor ekonomi, perhatian terhadap UMKM dan perluasan pasar menunjukkan arah pembangunan yang berbasis pemberdayaan rakyat kecil.
Namun visi besar tak berhenti di sana. Pemerintahan ini membawa Sapta Cita sebagai program konkret:
-
MERATA RT/RW: Dana pembangunan kelurahan hingga Rp1 miliar, insentif RT/RW, Posyandu, dan guru ngaji.
-
Produktif-Kreatif-Inovatif: BOSDA, beasiswa S1–S3, atlet berprestasi, hingga bantuan modal UMKM.
-
D’CITO (Kediri City Tourism): Pembangunan ikon wisata, pelestarian budaya, dan kawasan pariwisata kota.
-
Lingkungan Indah & Berkelanjutan: Karbon trading dan pelestarian ruang hijau.
-
Smart Living: Layanan Hallo Warga, dokter keluarga, dan kota ramah disabilitas.
-
Pemerintahan Cepat-Tepat: Pelayanan administrasi terintegrasi dan mobil pelayanan warga.
-
Infrastruktur & Identitas Kota: Pengembangan kawasan Islamic Center sebagai pusat keagamaan dan kebudayaan.
Semua ini, di atas kertas, tampak menjanjikan. Tapi tantangan terbesarnya bukanlah membuat program, melainkan mengawal pelaksanaannya dengan transparansi, integritas, dan akuntabilitas. Jangan sampai semua ambisi ini hanya menjadi etalase politik tanpa perubahan yang benar-benar dirasakan warga.
Dalam konteks good governance, bukan hanya soal melayani lebih cepat, tetapi lebih tepat sasaran, transparan, dan bebas dari praktik koruptif. Ini membutuhkan keberanian, bukan basa-basi.
Kini, publik menanti pembuktian. Kota Kediri tidak butuh janji baru, tapi cara baru menjalankan janji lama. Jika Vinanda dan Gus Qowim bisa memimpin dengan keberanian, kedisiplinan, dan keteladanan, maka perubahan bukan lagi harapan tapi kenyataan.