Meski diperkuat sejumlah pemain naturalisasi dan dibesut pelatih sekaliber Patrick Kluivert, Timnas Indonesia tetap tak berdaya saat menghadapi Jepang. Hasil akhir 0-6 jadi tamparan keras yang menunjukkan bahwa nama besar di atas kertas belum tentu berbanding lurus dengan hasil di lapangan.
Ekspektasi publik sempat meninggi dengan kehadiran pemain-pemain berpengalaman dari luar negeri dan sosok Kluivert yang punya reputasi di level dunia. Namun kenyataan di lapangan berkata lain: Indonesia tak mampu membendung dominasi Samurai Biru yang tampil cepat, rapi, dan efektif.
Kehadiran pemain naturalisasi belum mampu mengangkat permainan secara kolektif. Koordinasi antar lini masih berantakan, terutama di area bertahan. Sementara itu, transisi dan distribusi bola dari lini tengah terlihat lambat dan mudah ditebak.
Di sisi lain, Jepang tampil tanpa ampun. Mereka tahu cara menyerang, menekan, dan mengeksploitasi celah yang terbuka. Timnas Indonesia seperti kehilangan arah menghadapi intensitas permainan lawan yang jauh lebih matang.
Hasil ini jelas menjadi alarm keras. Kualitas individu penting, tapi tanpa organisasi tim yang solid dan pemahaman taktik yang matang, hasil positif sulit diraih. Nama besar Kluivert butuh waktu dan dukungan sistem untuk bisa mengubah wajah tim ini.
Kekalahan ini menyakitkan, tapi harus jadi titik evaluasi. Kalau ingin bersaing di level elite Asia, Indonesia harus lebih dari sekadar mengandalkan nama dan status—harus ada kerja nyata di atas lapangan.
Apalagi pemerintah secara khusus untuk Timnas, dikabarkan memberikan dukungan dana mencapai Rp 277 miliar. Plus dana tambahan dari PSSI, sebagai bagian dari paket pengembangan sepakbola dalam negeri.