Dari ruang kelas yang biasa, kini alunan reggae anak-anak SD itu menjelma menjadi suara yang menginspirasi. Ia bukan sekadar musik, melainkan pesan: bahwa pendidikan bisa hadir dalam bentuk irama, dan bahwa mimpi bisa dimulai dari sebuah gitar kecil yang dipetik dengan ketulusan hati.
KEDIRI – Siapa sangka, dari sudut sederhana ruang kelas SDN Betet 3 Kota Kediri, lahir sebuah harmoni yang kini menggema ke dunia maya. Bukan band biasa, melainkan sekelompok bocah berseragam merah putih yang menabuh irama reggae dengan semangat membara.
Mereka menamai diri RSUD — Reggae Sejak Usia Dini — dan belakangan ini, nama itu mulai ramai dibicarakan setelah video penampilan mereka viral di TikTok dan Instagram.
Segalanya bermula dari sentuhan hangat seorang guru kelas 4 bernama Frick Varian Alwafi, yang juga membimbing ekstrakurikuler gitar di sekolah. Awalnya, ia hanya ingin memperkenalkan alat musik kepada anak-anak. Tapi dari rasa penasaran yang polos itu, lahir kecintaan, semangat, dan akhirnya sebuah band kecil yang tampil besar.
“Saya minta anak-anak mencoba satu per satu alat musik yang ada. Dari gitar ke bass, dari drum ke keyboard. Saya hanya membuka jalan, mereka yang berjalan,” kisah Frick, yang senyum bangganya tak pernah lepas saat menyebut anak didiknya.
Para pemain drum, gitar, dan bass telah berlatih sejak kelas 5. Sementara vokalis dan pemain keyboard baru bergabung beberapa bulan lalu — bahkan pemain keyboard hanya sempat berlatih kurang dari seminggu sebelum naik pentas perdana di sekolah, lalu tampil percaya diri di acara resmi Pemerintah Kota Kediri.
Menariknya, awal mula band ini bukanlah reggae. Frick sempat ingin membentuk grup keroncong. Namun, genre itu dirasa belum pas dengan semangat anak-anak yang riuh dan eksplosif. Maka irama pun bergeser, dari denting halus keroncong ke gelombang riang reggae. Dan anak-anak langsung jatuh hati.
“Reggae lebih cocok. Anak-anak suka. Energinya dapet, auranya terasa. Mereka pun jadi tampil lebih lepas,” ujar Frick.
Kini, RSUD terdiri dari enam personel: vokalis, keyboardist, dua gitaris, pemain bass, dan drummer. Namun yang membuat mereka benar-benar mencuri perhatian bukan sekadar formasi atau gaya pentas, melainkan pilihan lagu. Di tengah gempuran lagu pop modern, mereka justru membawakan karya-karya klasik Koes Plus seperti “Padang Bulan” dan “Ojo Podo Nelongso”.
“Saya ingin mereka tahu bahwa musik Indonesia itu luas dan dalam. Tak hanya yang tertulis di buku pelajaran,” katanya, lirih namun pasti.
Video penampilan mereka yang terekam penuh semangat kini telah ditonton ribuan orang. Ada yang terpesona karena keberanian mereka, ada pula yang tersentuh karena kesederhanaannya.
Frick berharap, para siswa yang duduk di kelas 6 dan akan segera meninggalkan sekolah, tetap bersedia membimbing adik-adik kelas mereka. Regenerasi harus terus berjalan. Musik tidak boleh berhenti di satu angkatan. Ia harus tumbuh, bernapas, dan terus hidup.
Tentu, jalan ini tidak selalu mulus. Tak semua anak memiliki bakat dari awal, dan tidak sedikit yang bergabung hanya karena dorongan orang tua atau sekadar mengikuti tren media sosial. Namun, di tangan seorang guru yang sabar dan penuh cinta, bahkan langkah kecil bisa menjadi nada besar.
jurnalis : Kintan Kinari Astuti