KEDIRI – Kasus dugaan intimidasi terhadap wartawan yang melibatkan Edy Suroto selaku Kepala SMKN 1 Kota Kediri terus berlanjut. Setelah resmi dilaporkan ke Polres Kediri Kota, penyidik dijadwalkan akan memeriksa sejumlah saksi pekan depan untuk mengungkap kebenaran di balik insiden tersebut, yang turut menyeret nama kepala sekolah, sejumlah guru, dan siswa.
Insiden bermula saat Nyoto Darmawan, wartawan Berita Patroli, mendatangi sekolah untuk mengklarifikasi pemberitaan sebelumnya. Namun, alih-alih mendapat sambutan baik, ia mengaku justru mendapat perlakuan intimidatif. Melalui kuasa hukum Nyoto, Akhir Kristiono, menyebut sang kepala sekolah diduga mengeluarkan celurit dan membantingkannya ke meja dua kali di hadapan kliennya.
“Kami telah resmi melaporkan kejadian ini. Ada dua pasal yang kami ajukan, yakni Pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam. Kami berharap penanganan kasus ini dilakukan secara tuntas,” kata Akhir, Senin (9/6).
Tak hanya itu, situasi di dalam ruangan dilaporkan makin memanas. Sejumlah guru dan siswa disebut masuk dan meneriakkan ancaman serta kata-kata tidak pantas. Salah seorang siswa bahkan dilaporkan sempat melontarkan kalimat berbau kekerasan seksual.
Akhir menegaskan, laporan ini bukan tindakan pribadi, melainkan langkah resmi dari institusi media tempat Nyoto bekerja.
“Profesi wartawan dijamin oleh undang-undang. Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, silakan menempuh hak jawab, bukan malah melakukan ancaman atau kekerasan,” jelasnya.
Dalam video yang beredar luas, terdengar pula suara seorang guru yang meminta agar kejadian tersebut direkam dan disebarluaskan. Hal ini menambah daftar dugaan pelanggaran UU ITE yang diajukan pelapor.
Pihak kuasa hukum berkomitmen untuk mengawal jalannya proses hukum hingga tuntas. Mereka berharap kasus ini menjadi pelajaran penting, khususnya bagi institusi pendidikan. Menurut mereka, sengketa pemberitaan semestinya diselesaikan sesuai koridor hukum, yakni melalui mekanisme hak jawab seperti diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Lebih lanjut, Akhir mengungkapkan bahwa saat hendak membuat laporan polisi, kliennya sempat menghadapi intimidasi dari sekelompok massa yang berjumlah sekitar 200 orang di kawasan Mojoroto. Massa tersebut mengklaim ingin memediasi, meski tanpa seizin kuasa hukum ataupun tim pendamping hukum dari Surabaya yang saat itu masih dalam perjalanan menuju Kediri.
Namun, solidaritas dari kalangan wartawan menurutnya sangat kuat. Sekitar 200 jurnalis menyatakan diri siap mengawal proses ini.
“Kami hanya ingin kasus ini menjadi pembelajaran. Tidak semua hal yang tidak disukai harus direspons dengan kekerasan atau ujaran kebencian. Tekanan di media sosial juga luar biasa, padahal banyak yang belum memahami situasi sebenarnya,” ujar Akhir.
Ia juga menepis tudingan bahwa Nyoto adalah anggota LSM atau ormas. “Yang bersangkutan adalah wartawan profesional yang tengah menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Ia telah berpengalaman 27 tahun di dunia jurnalistik dan memahami kode etik,” tegasnya.
Menurut Akhir, dalam menjalankan tugasnya, Nyoto telah melakukan konfirmasi, wawancara, dan peliputan sesuai standar operasional. Sayangnya, respon dari kepala sekolah saat itu justru tidak mencerminkan penyelesaian yang sesuai hukum.
“Jika memang ada keberatan atas berita, kepala sekolah bisa menempuh hak jawab ke redaksi, bukan bertindak represif,” pungkasnya.
Saat ini, proses hukum masih bergulir. Pihak pelapor dijadwalkan kembali menjalani pemeriksaan lanjutan dalam waktu dekat. Tim Berita Patroli berharap Polres Kediri Kota menangani kasus ini dengan objektif, profesional, dan transparan.
jurnalis : Kintan Kinari Astuti