KEDIRI — Gangguan lingkungan akibat aktivitas Pabrik Gula (PG) Mrican kembali menuai keluhan. Warga Dusun Templek, Desa Mrican, Kecamatan Kota Kediri, merasa resah dengan polusi debu yang semakin parah sejak dimulainya musim giling tebu.
Anik Wariyanti, salah satu warga terdampak, mengungkapkan bahwa sejak satu bulan terakhir, debu dari area penempatan bahan baku tebu mencemari rumah-rumah warga di sekitarnya. “Setiap hari saya harus bersih-bersih karena lantai rumah selalu kotor oleh debu. Udara juga jadi tidak sehat, apalagi bagi bayi dan balita,” ungkapnya saat ditemui di kediamannya, Selasa (1/7).
Meskipun anak-anaknya telah beranjak dewasa, Anik merasa prihatin terhadap tetangganya yang baru melahirkan dan tinggal hanya beberapa meter dari pabrik. Ia menekankan bahwa dampak debu ini tak bisa dianggap remeh, terlebih masa giling diperkirakan berlangsung hingga tiga bulan ke depan.
Keluhan warga terutama tertuju pada kurangnya upaya konkret dari PG Mrican dalam mengendalikan penyebaran debu. Fasilitas penyemprotan air yang disediakan dinilai tidak memadai. “Selangnya terlalu pendek, cuma menjangkau area depan kantor. Harusnya bisa menjangkau hingga pintu keluar di sisi selatan,” ujarnya.
Menanggapi keresahan warga, Humas PG Mrican, Dody Krisbianto, menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk menerima masukan dan siap berkoordinasi dengan masyarakat. “Kami sudah punya kesepakatan dengan warga, jadi kalau ada aduan bisa langsung disampaikan. Kalau untuk kebaikan bersama, tentu akan kami tindak lanjuti,” katanya.
Terkait penyemprotan debu yang dinilai tidak maksimal, Dody mengaku akan segera membahas hal tersebut dengan tim teknis di lapangan. “Setiap pergantian shift, kami akan instruksikan penyemprotan di area terdampak. Kami cari solusi terbaik,” tambahnya.
Namun warga berharap lebih dari sekadar respons normatif. Mereka menuntut tindakan nyata dan cepat. Bagi warga yang harus menghirup udara bercampur debu setiap hari, janji tanpa aksi hanya memperpanjang penderitaan.
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya tanggung jawab lingkungan dari industri yang beroperasi di tengah permukiman. Transparansi, komunikasi terbuka, dan langkah preventif seharusnya menjadi komitmen mutlak, bukan hanya jargon relasi publik.
jurnalis : Neha Hasna Maknuna