Kota Kediri kembali gencar mendorong program City Tourism sebagai motor penggerak ekonomi daerah dengan mengusung semangat perubahan. Branding wisata kota ini tak hanya mengandalkan sejarah panjang Kediri sebagai kota tua, tetapi juga festival budaya, kuliner khas, hingga geliat UMKM yang mulai naik daun. Pemerintah kota terlihat cukup optimis, menjadikan Kota Kediri sebagai destinasi yang kompetitif, ramah, dan berdaya saing.
Namun, di balik semaraknya jargon pariwisata, wajah Kota Kediri masih diwarnai problem sosial yang kontras. Dua di antaranya cukup mencolok: maraknya peredaran miras oplosan dan fenomena balapan liar di kalangan pelajar. Dua persoalan ini bukan sekadar catatan kecil, tetapi bisa menjadi bom waktu yang menggerogoti citra wisata kota.
City Tourism: Branding vs Realita Sosial
Program City Tourism tidak bisa berdiri sendiri. Branding wisata tanpa dukungan kualitas lingkungan sosial ibarat membangun rumah megah di atas pondasi rapuh. Wisatawan, terutama generasi muda dan wisatawan asing, tidak hanya mencari atraksi, tetapi juga keamanan, kenyamanan, dan pengalaman autentik.
Sayangnya, citra kota yang tengah dipoles sebagai kota wisata berisiko tercoreng oleh berita miras oplosan yang menelan korban jiwa, atau balapan liar yang meresahkan pengguna jalan. Dua hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pembangunan wisata benar-benar menyentuh akar persoalan masyarakat, atau hanya sekadar etalase?
Miras Oplosan: Ancaman Senyap di Tengah Kota
Miras oplosan bukan hanya persoalan kriminalitas, melainkan fenomena sosial-ekonomi. Dengan harga cukup murah membuatnya mudah dijangkau kalangan remaja, apalagi bila aparat penegak hukum tidak serius melakukan pengawasan dan penindakan.
Dari kacamata pariwisata, kasus miras oplosan adalah ancaman langsung terhadap branding City Tourism. Bagaimana mungkin kota paling bahagia seharusnya ramah dan aman, kini justru dikenal karena kasus keracunan akibat miras oplosan? maraknya hiburan malam seakan lepas pengawasan.
Balapan Liar: Adrenalin yang Salah Jalan
Di sisi lain, balapan liar yang kerap melibatkan pelajar juga tak kalah meresahkan. Jalan-jalan kota yang seharusnya menjadi etalase wisata malam berubah menjadi arena adu nyali. Apakah tidak mengancam keselamatan pengendara lain? Wisatawan merasa aman saat melintas. Hal ini justru menunjukkan lemahnya kontrol sosial dan penegakan hukum.
City Tourism Tanpa Solusi Sosial adalah Kosong
Pertanyaan pentingnya: Apakah pemerintah kota hanya fokus pada infrastruktur wisata dan festival, tanpa memikirkan fondasi sosialnya?
Jika masalah miras oplosan dan balapan liar seakan diabaikan. Semua permasalahan dikabarkan diselesaikan di bawah meja oknum penegak hukum. Maka City Tourism tidak lebih dari sebutan proyek kosmetik. Investasi branding bisa runtuh oleh satu berita buruk yang viral di media sosial. Dalam ekosistem pariwisata modern, reputasi adalah segalanya.
Kota Kediri punya modal besar untuk mengembangkan City Tourism. Sejarah panjang, budaya kuat, dan geliat ekonomi kreatif adalah harta yang tak ternilai. Tapi semua itu bisa runtuh jika problem sosial dibiarkan membusuk di belakang panggung.
City Tourism sejatinya bukan hanya tentang mendatangkan wisatawan, melainkan juga tentang membangun kota yang nyaman, aman, dan membanggakan bagi warganya sendiri. Jika masyarakatnya masih dicekik oleh miras oplosan dan balapan liar, maka branding wisata hanya akan menjadi slogan kosong.
Pariwisata kota tidak boleh berjalan di atas penderitaan sosial. Pemerintah Kota Kediri harus berani menghadapi kenyataan pahit ini jika ingin benar-benar layak disebut sebagai kota wisata yang berkelas.