KEDIRI – Demi menyelamatkan keberadaan cagar budaya, aliansi masyarakat menamakan diri Saroja menyatakan siap bersama para budayawan untuk berjuang bersama. Selain menyelamatkan sejarah, nilai autentik cagar budaya agar hilang di Kota Kediri.
Demikian harapan Supriyo selaku dewan pengawas Saroja. Sekaligus menyatakan, pada Senin besok akan melayangkan surat aksi sebagi bentuk nyata kepedulian terhadap sejarah.
Diskusi Budaya bertema Kilas Balik Sejarah Kediri digelar Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri di halaman, pada Minggu (18/06).
Menghadirkan dua narasumber, Imam Mubarrok, Ketua Dewan Kesenian Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) dan Novi Bahrul Munib, penggiat budaya dari Kemdikbudristek.
Saat memasuki sesi tanya jawab, Supriyo langsung menyampaikan uneg-unegnya. “Ada kasus viral dan hingga terdengar di telinga walikota. Jika itu cagar budaya dikatakan para ahli, kenapa sekarang dijadikan rumah makan drive thru McDonald setelah temboknya dibuka. Percuma kita bicara sejarah, jika budaya asli kita tidak diselamatkan. Saya prihatin, sejumlah dinas lempar-lemparan saat saya tanya,” ucapnya.
Jika sejumlah kota mampu memanfaatkan cagar budaya demi ekonomi, namun bukan berarti menghilangkan otentik, estetika dan tentunya sejarah.
“Cagar budaya harus dipertahakan, silahkan dialihfungsikan namun jangan nilai otentiknya hilang. Bangunannya dirusak tidak lagi seperti aslinya hanya replika saja. Jika alasan ekonomi kenapa BI membiarkan?,” terangnya
“Jika mau membuat sejarah, yang ada mari dipertahankan. Besok kami akan layangkan surat aksi, bahwa teman-teman budayawan tidak sendirian, kami siap back up,” tambahnya.
Menjawab pernyataan tersebut, Gus Barok demikian sapaan akrab Ketua DK4 menyampaikan. Bahwa sebetulnya yang melaporkan pertama itu dirinya.
Sosok budayawan Kediri ini kemudian berusaha mengikuti aturan pemerintah. Karena yang berwenang mengeluarkan rekomendasi adalah Pemerintah berdasarkan Undang – Undang nomor 11 tahun 2010.
“Saya yang pertama melaporkan hal tersebut. Kemudian saya laporkan ke teman-teman PASAK, mengingat ada undang – undang. Saya laporkan ke dinas dan rupanya ada pihak berwenang Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK, red),” ungkapnya.
Temuannya, pada bangunan tersebut belum ada penetapan cagar budaya. Kemudian terkendala di Kota Kediri, belum ada tim ahli cagar budaya. Kemudian, lanjut Gus Barok Kepala BPK meninggal dunia seminggu kemudian usai meninjau lokasi tersebut
“Usai datang, Kepala BPK seminggu kemudian meninggal. Kemudian ditunjuk pejabat baru dan dilakuan pertemuan dengan McDonald lalu munculah rekomendasi,” terangnya.
Gus Barok membenarkan bahwa di sejumlah kota besar seperti Yogyakarta dan Semarang, keberadaan McDonald berdiri di atas cagar budaya.
“Bila mau demo, kamu lakukan demo terkait peninggalan sejarah yang ada di bandara. Ada proses penyelamatan, ayo kita bergerak bersama. sebenarnya ada banyak tempat yang menjadi diduga objek budaya setidaknya ada 15 tempat di Kota Kediri, termasuk penerbitan kuno sebelum Balai Pustaka, itu ada di depan Hotel Penataran,” jelasnya
Kemudian menjadi kendala, terangnya, banyak proses cagar budaya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak.
“Tapi konteks tadi siapa yang berhak menjawab permasalahan McDonald bukan konteks saya, bukan wewenang Mas Novi. Ini adalah konteks kewenangan BPK wilayah 11. Karena beliau lah yang berhak memberikan rekomendasi terkait dengan masalah tersebut dan rekomendasi tersebut sudah ada di dinas terkait,” imbuhnya
Terkait dibentuknya tim cagar budaya mendapat dukungan dari Novi yang merupakan penggiat budaya asli Kediri.
“Sesuai amanah undang-undang, baik pemerintah daerah kemudian masyarakat melalui LSM, harus melestarikan cagar budaya. Kemudian pemanfaatan yang bijaksana,” jelasnya
Dilanjutkan Novi “Semua harus bekerjasama dan proaktif terkait dengan proses pelestarian tersebut. Mengingat banyaknya kasus antara pemda dan masyarakat tidak sinkron. Jika ingin mempercepat pelestarian cagar budaya, harus meningkatkan gotong royong dan kolaborasi. Kami dari kementrian memberikan fasilitas terkait dengan konsultasi cagar budaya,” terangnya.
Jurnalis : Wildan Wahid Hasyim Editor : Nanang Priyo Basuki