KEDIRI – Dalam nuansa bulan Suro yang sakral, Sabtu (28/6/2025), Padepokan Cipto Mudho Laras yang bersemayam tenang di Dusun Maron, Desa Senden, Kecamatan Kayen Kidul, membuka diri bagi khalayak.
Untuk pertama kalinya, prosesi Jamasan Pusaka digelar secara terbuka, sebuah laku budaya yang selama ini hanya dilakukan dalam senyap dan penuh tata krama spiritual.
Dipimpin langsung oleh Ki Harjito Mudha Darsono, seorang tokoh budaya yang tekun menjaga laku leluhur, prosesi ini diawali dengan permohonan izin kepada Sang Pencipta dan makhluk halus penjaga pusaka.
Suasana hening, doa lirih bergetar, dan aroma kembang bercampur air mawar menyelimuti ruangan, seolah waktu melambat dan semesta ikut bersujud.
“Jamas bukan sekadar membersihkan karat di bilah, tapi juga menyucikan ruh yang bersemayam di dalamnya, yoni yang menjadi nafas pusaka. Ini bentuk hormat kepada para empu, para leluhur yang menitipkan warisan budaya tak ternilai,” tutur Ki Harjito, lembut namun sarat makna.
Bukan hanya pusaka milik pribadi, jamasan juga dilakukan terhadap keris dan tombak milik warga yang menitipkan dengan penuh takzim. Bagi Ki Harjito, ini bukan praktik mistik, melainkan wujud nyata cinta dan tanggung jawab terhadap kebudayaan. Sebab pusaka lebih dari sekadar benda tua, adalah cermin peradaban, saksi bisu nilai, dan penjaga moral bangsa.
“Jika Tuhan mencintai segala ciptaan-Nya, maka manusia pun tak boleh abai. Pusaka adalah bagian dari ciptaan, bagian dari sejarah yang hidup. Kalau bukan kita yang merawat, siapa lagi?” ujarnya dengan sorot mata yang dalam.
Membuka prosesi kepada publik, bagi Padepokan Cipto Mudho Laras, adalah langkah kecil namun berarti untuk menanamkan cinta budaya di kalangan muda. Mengajarkan bahwa warisan leluhur bukan untuk disimpan dalam peti, tapi dihidupkan dalam laku dan jiwa.
Prosesi diakhiri dengan doa bersama, lirih namun menyentuh langit, sebagai ungkapan syukur atas kelancaran acara dan harapan agar berkah budaya ini terus mengalir, lintas zaman dan generasi.
Di tengah modernitas yang serba cepat dan gemerlap, Jamasan ini hadir seperti embun pagi: menyejukkan, menyadarkan, bahwa dalam setiap benda pusaka, tersimpan denyut jati diri bangsa yang harus terus dijaga.
jurnalis : Riza Husna Silfiyya