PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
“Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan”
Penulis : Nanang Priyo Basuki
Direktur kediritangguh.co
Perjalanan pagi ini sangat menguras perasaan, antara pasrah dan semangat, saya memilih tancap gas melihat kondisi Kali Konto. Terlihat lahan yang dulu subur menghijau, kini meninggalkan sejumlah lubang berkedalaman. Segelas kopi setiba di gerbang desa, menyambut sebagai penghantar cerita disuguhkan sahabat baik.
Tanpa akal sehat, usaha ini ternyata telah berjalan sekian lama. Selama ini warga hanya bisa diam. Kalau pun teriak tak selang lama oknum pasti mendatanginya. Inikah negaraku? Katanya sudah merdeka? Bahwa kekayaan bumi dijanjikan untuk rakyatnya. Rakyat yang mana? Tanyaku dalam batin.
Cerita pun mengalir dari para petani-petani tangguh. Meski diusik bahkan diancam, mereka tetap bekerja demi menghidupi keluarga. Sadar jawabnya, bahwa itu bukan lahan hak miliknya. Lalu kenapa, orang lain berpayung hukum datang melakukan usaha pertambangan. Bahkan terkesan arogan menantang lapor polisi atau bupati. Perlahan alam akan rusak atas usaha lebih tepat disebut eksploitasi.
Lalu dimana nurani pemberi ijin, pengambil keputusan, orang-orang bijak di sekitar mereka yang wajahnya menghiasi media? Justru terkesan mereka merupakan konco ngopi para pengusaha. Lalu wakil rakyat yang dulu datang berikan janji, setelah dicoblos kini lari entah kemana tak pernah kembali.
Jangan mata air menjadi air mata, lalu muncul korban jiwa. Dari mulut-mulut berwajah lugu, terucap ketakutan rusaknya akhlak generasi muda. Lahir anak tanpa bapak, para orang tua berbekal air putih ke lahan pertanian, sementara anak-anak petani disuguhi minuman keras.
Pertemuan akhirnya ditutup dengan doa, cukup meninggalkan butiran air di kedua kelopak mataku. Setelah sebelumnya, ada janji sepakat menolak segala bentuk pertambangan orang luar. Bahwa mereka berhak hidup merasakan kemerdekaan. Meski kasusnya ditangani pihak Kepolisian, atas laporan penghadangan. Namun tak mengurangi keberanian kibarkan bendera Merah Putih di lahan garapan.
Buat penjajah rupiah di negeri sendiri, harusnya kalian sadar. Jangan bersekutu dengan teman ngopi-mu, bicara hukum dihadapan orang-orang selama ini bekerja, berjuang dan berdoa untuk bertahan hidup.