KEDIRI – Embun pagi masih menggantung saat aroma dupa dan suara gamelan membaur di kaki Gunung Kelud, Minggu (6/7). Ratusan warga dan wisatawan berkumpul dalam balutan khidmat dan kekaguman, menyaksikan prosesi sakral Larung Sesaji—ritual warisan leluhur yang mengalirkan syukur atas anugerah alam dari gunung yang menjulang anggun di ufuk timur Kediri.
Dengan iringan kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan, acara dibuka penuh semangat, menyuguhkan tarian penuh makna yang membakar semangat penonton. Tak sekadar tontonan, warga juga terlibat langsung dalam rebutan gunungan hasil bumi—buah tangan dari alam yang diyakini membawa keberkahan bagi siapa pun yang berhasil memetiknya.
Tumpeng, pisang, ayam kampung, hingga polo pendek dilarung ke dalam kawah sebagai simbol persembahan kepada Sang Pencipta. Ritual ini tak hanya menyentuh sisi spiritual, namun juga menggugah rasa syukur atas limpahan rezeki dari alam.
Prosesi sakral ini telah berlangsung sejak Kamis lalu, dan mencapai klimaks pada Minggu pagi. Para pinisepuh, juru kunci, tokoh desa, dan unsur Muspika Kecamatan Ngancar memimpin jalannya pelarungan, disusul kenduri bersama dan hiburan rakyat yang membawa senyum di wajah warga.
Budaya dan Pariwisata Menyatu dalam Napas Pembangunan
Plt. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi, menegaskan bahwa Larung Sesaji bukan sekadar tradisi, tetapi juga jembatan emas bagi pengembangan pariwisata lokal.
“Kalau aksesnya baik, pengunjung pun merasa nyaman. Ditambah amenitas seperti homestay dan kuliner yang memadai, wisatawan akan betah berlama-lama,” ujarnya penuh optimisme.
Ia juga menyoroti potensi ekonomi yang terangkat lewat kegiatan ini—dari pelaku UMKM, petani nanas, hingga penjual makanan khas yang kini mulai kembali bergeliat pasca pandemi. Empat desa wisata telah dikembangkan, dan ke depan akan hadir paket wisata terintegrasi untuk memperkuat daya tarik kawasan Gunung Kelud.
Camat Ngancar, Moh. Muthoin, menyebut Larung Sesaji sebagai pusaka luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Gunung Kelud adalah sumber kehidupan kami. Dari tanahnya tumbuh pangan, dari kawahnya mengalir berkah,” ungkapnya lirih namun penuh makna.
Ritual pelarungan hanya diikuti oleh tokoh adat dan perwakilan desa, sebagai penghormatan terhadap nilai-nilai sakral yang tak boleh sembarang disentuh. Semua itu menjadikan Larung Sesaji bukan sekadar tradisi, tapi mantra kehidupan yang mengikat manusia dengan alam.
Bagi Liana, warga Desa Manggis, pengalaman pertamanya mengikuti Larung Sesaji adalah momen yang tak terlupa.
“Reog dan Jaranan luar biasa. Saya ikut rebutan hasil bumi juga, semoga ini bawa berkah,” ujarnya sembari tersenyum lebar.
Larung Sesaji Gunung Kelud adalah lebih dari sekadar perayaan tahunan. Ia adalah simfoni budaya, spiritualitas, dan harapan yang bergema di antara kabut pagi dan gemuruh alam. Di sanalah, manusia, tanah, dan warisan leluhur berpadu dalam satu keharmonisan abadi.
jurnalis : Anisa Fadila