Transisi ke DTSEN memang menjanjikan sistem yang lebih inklusif dan adil. Tapi tanpa landasan regulasi yang kuat dan akurasi data yang terjaga, perubahan ini bisa jadi hanya sebatas nama baru—dengan masalah lama yang tak terselesaikan.
Karena sebaik apa pun sistemnya, jika data dasarnya masih bermasalah, risiko salah sasaran bantuan sosial akan tetap menghantui. Yang paling dirugikan? Tentu saja mereka yang benar-benar membutuhkan, tapi luput dari daftar.
KEDIRI — Pemerintah pusat mulai mengganti sistem pendataan bantuan sosial (bansos) dari yang lama, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ke sistem baru bernama Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Tujuannya satu: agar bantuan sosial benar-benar sampai ke tangan mereka yang paling membutuhkan.
Namun, di balik transisi ini, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Salah satunya adalah kepastian regulasi dan akurasi data.
Kepala Dinas Sosial Kota Kediri, Paulus Luhur Budi P., menjelaskan bahwa DTSEN merupakan hasil pemadanan dari tiga sumber data besar: DTKS, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), dan data dari Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
“Bedanya dengan DTKS, DTSEN mencakup seluruh warga Indonesia. Tapi ada sistem pemeringkatan, dari desil 1 sampai desil 10. Bantuan hanya diberikan pada desil 1 dan 2—yakni kelompok paling miskin,” ujar Paulus usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kota Kediri, Jumat (23/5).
Desil adalah metode pengelompokan berdasarkan tingkat kesejahteraan. Semakin rendah desil, semakin rentan kondisi ekonominya. Dalam hal ini, desil 1 adalah kelompok termiskin, sementara desil 10 adalah masyarakat yang dianggap paling sejahtera.
Namun, meski sistem ini terdengar lebih komprehensif, pelaksanaannya belum sepenuhnya siap. Hingga kini, belum ada Peraturan Menteri Sosial (Permensos) resmi yang mengatur teknis implementasi DTSEN. Bahkan, data by name by address (BNBA) pun belum dikirim ke daerah.
“Karena belum ada payung hukumnya, kami belum bisa pastikan siapa saja yang berhak menerima bantuan. Kami juga belum bisa menyosialisasikan apa pun ke masyarakat,” imbuh Paulus.
Tak hanya itu, proses pemadanan data juga menunjukkan adanya anomali serius: orang miskin yang tidak terdata (exclusion error), dan sebaliknya, orang mampu justru tercatat sebagai penerima bantuan (inclusion error). Di Kota Kediri sendiri, ditemukan lebih dari 10 ribu data yang perlu diverifikasi ulang.
“Sejak Maret 2025, kami sudah mulai ground check, dan saat ini 86 persen dari data tersebut sudah tervalidasi. Proses ini kami lakukan bersama BPS Kota Kediri, termasuk pelatihan petugas lapangan,” jelasnya.
jurnalis : Anisa Fadila