KEDIRI – Di ujung Kota Kediri, tepatnya di Kelurahan Mrican, Kecamatan Mojoroto, malam tak sekadar gelap. Ia menjadi saksi langkah-langkah penuh makna dalam tradisi yang terjaga: Jalan Mubeng Tengah Malam. Sebuah ritual budaya yang diwariskan leluhur, kembali mengalir di arus waktu menyambut 1 Muharram 1447 H.
Ketika jarum jam menunjuk angka dua belas malam, dan purnama menggantung megah di langit. Warga di Kelurahan Mrican berkumpul dalam satu irama, berjalan mengelilingi kampung, menyulam langkah dengan doa dan harapan.
Sedikitnya 150 jiwa ikut melangkah, mengambil awal dan akhir di halaman Kantor Kelurahan Mrican. Sebelumnya, mereka bersimpuh dalam hening, mengikuti doa bersama yang dipimpin oleh Kyai Zaenal Arifin, takmir Masjid Al Anwar.
“Waktu tengah malam dipilih bukan tanpa alasan. Ini sudah menjadi warisan zaman dulu, menyatu dengan cahaya bulan dan makna pergantian tahun,” tutur Winarno Trisno Dwi, Ketua LPMK Mrican.
Tradisi ini bukan sekadar perjalanan kaki. Ia adalah ziarah spiritual dan sosial. Dahulu kala, para pamong desa berjalan bersama rakyat, memohon keselamatan, ketenteraman, dan perlindungan dari segala mara bahaya. Dan kini, meski zaman berganti, semangat itu tetap menyala.
Usai perjalanan, warga kembali berkumpul, melanjutkan dengan prosesi tumpengan sebagai puncak rasa syukur, doa keberkahan, dan simbol kebersamaan. Nasi tumpeng menjadi sarana untuk memupuk harapan agar kampung tercinta senantiasa dalam damai dan tenteram.
Winarno tak lupa menyampaikan apresiasi kepada semua yang terlibat. Ia pun menyerukan pentingnya menjaga dan merawat budaya lokal ini.
“Tradisi seperti ini adalah harta leluhur. Sudah selayaknya kita jaga bersama, agar desa tetap damai dan penuh berkah,” ucapnya penuh harap.
Acara Jumat dini hari itu, juga dihadiri para tokoh masyarakat, mulai dari anggota DPRD Kota Kediri Pujiono (Partai Hanura), pengurus LPMK, Kyai Zaenal Arifin, pengurus Masjid Al Anwar, tokoh masyarakat, karang taruna, hingga seluruh Ketua RT dan RW se-Kelurahan Mrican.
jurnalis : Neha Hasna Maknuna