Aksi Damai Peternak di Kediri: Saat Suara Rakyat Bergema, Negara Tak Kunjung Hadir

Bagikan Berita :

Pagi kemarin, halaman depan Kantor Bupati Kediri tidak dipenuhi amarah. Tidak ada teriakan bernada benci, tidak ada dorongan, apalagi kekerasan. Yang hadir justru barisan peternak rakyat—orang-orang desa yang selama ini setia menjaga kandang, merawat ternak, dan menghidupi aset negara—datang dengan satu tuntutan sederhana: keadilan.

Aksi unjuk rasa yang digelar berlangsung damai dan tertib. Para peternak berdiri berjejer, membawa spanduk, menyampaikan aspirasi dengan cara yang beradab. Hingga aksi berakhir, tidak ada anarkisme, tidak ada provokasi. Yang terdengar hanyalah suara hati peternak rakyat, lirih namun jujur.

penulis : Mauliza Alfirani, Koordinator Lapang

Namun di tengah ketertiban itu, ada satu hal yang terasa begitu kontras: ketiadaan negara.

Tak satu pun pimpinan daerah, baik Bupati Kediri maupun perwakilan DPRD, hadir menemui mereka. Aksi ini pun berubah menjadi monolog di ruang publik—peternak berbicara, tetapi negara belum menjawab.

Para peternak tidak datang tanpa alasan. Mereka membawa keresahan mendalam atas kasus hukum yang menimpa salah satu peternak pelaksana program pemerintah, Pak JS. Bagi mereka, kasus ini bukan semata persoalan individu, melainkan cermin rapuhnya sistem kebijakan: program dilepas ke lapangan tanpa pendampingan memadai, namun ketika persoalan muncul, pelaksana di akar rumput justru berujung kriminalisasi.

Program negara sejatinya hadir membawa harapan. Peternak menjalankan kandang, memelihara sapi, dan memastikan aset tetap hidup. Namun ketika muncul masalah—baik administratif maupun manajerial—beban terberat justru jatuh ke pundak peternak kecil.

Fakta di lapangan menunjukkan aktivitas peternakan di kandang Pak JS masih berjalan. Ternak tetap dipelihara, aset negara tidak hilang. Sayangnya, realitas ini kerap kalah oleh pendekatan administratif yang kaku, yang abai terhadap risiko, keterbatasan, dan dinamika usaha peternakan rakyat.

Aksi damai kemarin menjadi ikhtiar terakhir yang bermartabat. Para peternak tidak menolak hukum. Mereka menuntut keadilan yang lebih substantif—keadilan yang mau melihat fakta lapangan, niat baik, dan realitas hidup rakyat kecil. Mereka tidak meminta pembenaran, hanya meminta negara bersedia duduk bersama dan menyelesaikan persoalan secara adil.

Aksi Sunyi Peternak Kediri

Ketidakhadiran pimpinan daerah patut menjadi catatan bersama. Bukan untuk menyalahkan, melainkan sebagai refleksi bahwa ruang dialog antara rakyat dan pengambil kebijakan masih belum sepenuhnya terbuka. Padahal, dialog adalah kunci utama mencegah konflik berkepanjangan dan runtuhnya kepercayaan publik.

Meski demikian, para peternak memilih pulang dengan tertib. Aksi ditutup tanpa insiden, tanpa kerusakan, tanpa amarah yang meledak. Sebuah bukti bahwa peternak rakyat mampu menyampaikan aspirasi dengan cara yang dewasa dan bertanggung jawab.

Perjuangan ini belum usai. Aksi kemarin bukanlah akhir, melainkan pengingat bahwa peternak rakyat ada, bekerja, dan menggantungkan harapan pada keadilan. Negara mungkin belum hadir hari itu, tetapi suara peternak telah tercatat di ruang publik.

Dan ketika peternak datang dengan damai, sesungguhnya yang mereka minta sangat sederhana: ingin didengar, dipahami, dan diperlakukan secara adil.

Bagikan Berita :