KEDIRI – Dalam aduannya ke redaksi kediritangguh.co, beberapa warga menyampaikan terkait pungutan liar (pungli) dalam pengurusan sertifikat tanah redistribusi terjadi di Dusun Sidodadi Desa Canggu, Kecamatan Badas. Dasar mereka, setelah menemukan perbedaan mencolok dalam biaya pengurusan sertifikat yang mereka bayarkan.
Kasus ini terungkap sekira Bulan September 2024, dialami Mugito. Dia menyadari bahwa telah membayar jauh lebih tinggi dari biaya resmi.
“Pada tanggal 13 Desember 2023, membayar senilai Rp 11.032.000 dan Rp 200 ribu untuk validasi kepada Panitia PTSL melalui oknum perangkat desa. Warga dikenakan biaya bervariasi, mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 11 juta lebih,” jelasnya, Rabu malam.
Kemudian pada 30 September 2024, Mugito baru menyadari setelah membandingkan biaya resmi yang hanya sekitar Rp 2.290.000.
“Jauh lebih rendah dari yang telah dibayarkan,” jelasnya
Kemudian pada Bulan Oktober hingga Desember 2024, sebagian uang korban telah dikembalikan, termasuk Rp 8,7 juta milik Mugito, namun banyak warga lain yang belum menerima pengembalian.
Mereka pun juga mempertanyakan, kenapa panitia PTSL dari perangkat desa karena patut diduga akan terjadi penyalahgunaan wewenang. Akhirnya seluruh proses sertifikasi ditangani oknum tersebut.
Ditambahkan Bambang Sutrisno, sehari-harinya sebagai petani dan merupakan tokoh masyarakat setempat menerangkan. Bahwa awalnya banyak warga tertarik mengikuti program sertifikasi, setelah melihat pengumuman diskon Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Ia sendiri ikut menginformasikan program ini kepada warga sekitar.
Namun, belakangan terungkap bahwa warga membayar lebih dari yang seharusnya. Salah satu kasus yang mencolok adalah Mugito, padahal biaya resminya hanya Rp 2.290.000.
“Setelah kasus Pak Mugito terbongkar, ternyata banyak korban lain yang mengalami hal serupa. Ada hampir ratusan warga yang mengaku dirugikan, meskipun tidak semua berani melapor,” ujar Bambang.
Atas masalah ini, perwakilan warga desa mengajukan tiga hal tuntutan :
1. Pengembalian Dana – Warga menuntut agar semua uang yang dipungut secara tidak sah segera dikembalikan sesuai data pelunasan dari notaris.
2. Transparansi Proses – Warga ingin ada kepastian kapan seluruh korban akan menerima hak mereka. Saat ini, sebagian sertifikat bahkan sudah dicoret, namun pengembalian uang disebut “menunggu ronde kedua,” yang belum jelas mekanismenya.
3. Proses Hukum – Warga meminta agar penyalahgunaan wewenang oleh panitia PTSL, termasuk keterlibatan Kepala Dusun, diproses secara hukum, berharap efek jera bagi pelaku.
“Saya berharap kasus ini diproses sampai tuntas. Kalau tidak, kejadian seperti ini bisa terus terulang,” imbuh Mugito.
Hingga saat ini, pihak panitia PTSL dan oknum perangkat desa belum memberikan pernyataan resmi, terkait tuduhan tersebut. Warga berharap aparat penegak hukum segera turun tangan menyelesaikan masalah dan memberikan keadilan bagi para korban.
jurnalis : Muhamad Dastian Yusuf