foto : Anisa Fadila

Tantangan Makan Bergizi Gratis di Kediri: Antara Cita Rasa, Pasokan, dan Suara Warga

Bagikan Berita :

KEDIRI – Beragam dinamika mengiringi perjalanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Kediri. Dalam dialog hangat antara Forkopimda dan para SPPG se-Kota Kediri pada Jumat (12/12), berbagai suara dari lapangan muncul ke permukaan—mulai dari persoalan rasa, pasokan yang belum stabil, hingga gelombang opini di media sosial yang tak jarang membuat suasana menghangat.

Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, menegaskan bahwa keberhasilan program besar seperti MBG hanya dapat terwujud melalui langkah bersama. Baginya, program ini bukan sekadar distribusi makanan, tetapi amanah tentang masa depan generasi penerus.

“Kita memikul tanggung jawab terhadap 82.000 penerima manfaat—ibu hamil, ibu menyusui, balita hingga anak sekolah. Ini estafet masa depan, jadi setiap langkah harus kita jalankan dengan sepenuh hati,” ujarnya penuh penekanan.

Vinanda menambahkan bahwa kedisiplinan dan ketelitian adalah kunci utama. Ia mengingatkan bahwa setiap SOP harus menjadi pagar yang dijaga bersama, terutama karena jumlah koordinator di lapangan terbatas. Karena itu, dukungan lurah, Babinsa, Bhabinkamtibmas, serta relawan menjadi nafas penting agar pengawasan berjalan tanpa celah.

Dari sisi penegakan hukum, Kejaksaan Negeri Kota Kediri menyampaikan pandangan bahwa dialog semacam ini bukan hanya ruang berbagi masalah teknis, tetapi juga ikhtiar mencegah salah tafsir di kemudian hari. Dengan berdiskusi terbuka, setiap hambatan dapat diurai sejak awal sehingga tak berkembang menjadi polemik yang mengganggu pelaksanaan program.

“Program ini merupakan strategi nasional. Karena itu kami harus memastikan semuanya berjalan sesuai aturan dan SOP, termasuk regulasi turunannya,” tegas Kajari, Dr. Raden Roro Theresia Tri Widorini.

Di tingkat kecamatan, para koordinator mengungkap kisah nyata yang mereka hadapi setiap hari. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah persoalan cita rasa. Sebagian orang tua menilai makanan kurang lezat, padahal batasan penggunaan penyedap menjadi bagian dari standar gizi. Perbedaan persepsi ini sering menimbulkan dilema antara kebutuhan nutrisi dan selera lidah anak-anak. Panji, Koordinator Kecamatan Mojoroto, menggambarkan situasi tersebut dengan lugas.

“Kalau dibuat enak, gizinya berkurang. Kalau dibuat bergizi, anak-anak kurang suka. Inilah dilema yang kami temui hampir setiap hari,” ungkapnya.

Tak berhenti di persoalan rasa, ujian lain muncul dari sektor pasokan. Salah satu perwakilan SPPG Bandar Kidul mengungkap bahwa dapur mereka masih mengandalkan bahan dari luar kota, sehingga kualitas dan ketersediaan sering berubah-ubah. Padahal, potensi lokal seperti lahan kosong atau UMKM sebenarnya bisa diberdayakan, hanya saja masih terkendala masalah legalitas dan kapasitas produksi. Ia berharap pemerintah membuka ruang kolaborasi lebih luas untuk memperkuat rantai pasok dari dalam Kota Kediri.

Di tengah upaya menjaga kualitas pangan dan memegang teguh SOP, dinamika media sosial justru menjadi tantangan tersendiri.

“Masalah teknis di lapangan sebenarnya bisa kami selesaikan. Yang sulit itu justru komentar negatif di media sosial. Kadang memperkeruh suasana,” ujarnya.

Melalui dialog ini, para pelaksana berharap ada pemahaman bersama bahwa menjalankan program berskala besar bukan hanya soal memasak dan mendistribusikan makanan—tetapi juga merawat kepercayaan publik di tengah derasnya informasi.

jurnalis : Anisa Fadila
Bagikan Berita :