Tahapan pesta demokrasi telah dimulai, tebar pesona harusnya atau memang sudah dilakukan, demi mendapatkan kursi kekuasaan. Sejumlah wakil rakyat sepertinya enggan beranjak dari kursi empuknya dan bakal mempertahankan mati-matian. Beda dengan di Kabupaten Kediri, di kota belum terlihat siapa sosok berani mendeklarasikan diri sebagai calon Walikota.
Mengutip karya penulis Longgina Novadona Bayo, dkk dalam buku berjudul Rezim Lokal di Indonesia. Dikupas tuntas terkait politik dinasti, berisi warisan kekuasaan yang telah berlangsung turun-temurun. Ikatan kekeluargaan inilah digunakan sebagai dasar melanggengkan kekuasaan.
Meski penyelenggara pemilu menyebut pesta demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun praktik politik dinasti sepertinya bakal sulit dihilangkan di negeri ini, apalagi di Kediri. Bila di Kabupaten Kediri, setelah Ir. H. Sutrisno menjabat dua periode kemudian dilanjutkan istrinya, dr. Hj. Haryanti Sutrisno juga menjabat dua periode. Apakah ini bakal terjadi pada Kota Kediri?
Mengutip isi buku, saat Indonesia dikuasai oleh pemerintah kolonial, ruh dinasti politik masih tumbuh subur dalam kekuasaan lokal. Anak dari bupati, wedana, hingga asisten wedana diberi sejumlah hak istimewa, seperti warisan jabatan hingga hak pendidikan.
Kebijakan itu diambil guna menarik hati pejabat daerah sehingga setia kepada pemerintahan kolonial. Kondisi ini menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat meskipun modernisasi pendidikan dan sistem pemerintahan mulai dilakukan.
Saat Indonesia merdeka, praktik dinasti politik masih dirasakan dalam tatanan pemerintahan hingga pengujung Orde Baru. Salah satunya adalah saat Soeharto menunjuk putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana atau yang akrab disapa Tutut, sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Pembangunan VII menjelang krisis 1998. Tutut sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua DPP Golkar dan Ketua Umum Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia.
Memasuki periode reformasi, ruh dari praktik politik kekerabatan kian terasa dan menghasilkan dinasti politik. Pola dinasti politik yang terbentuk adalah pada skala regional, baik kabupaten, kota, maupun provinsi. Praktik ini semakin terlihat jelas seiring penerapan pilkada secara langsung sejak tahun 2005.
Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, praktik politik dinasti mulai jamak bermunculan dan akhirnya diketahui secara jelas oleh publik. Beberapa di antaranya adalah dinasti Fuad di Bangkalan (Jawa Timur), dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dinasti Narang di Kalimantan Tengah, dan dinasti Sjahroeddin di Lampung. Selain itu, juga muncul dinasti Chasan Sochib di Banten, baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif.
Upaya untuk menciptakan kompetisi yang sehat tentu dibutuhkan agar sirkulasi kekuasaan tidak hanya berputar pada lingkungan elite. Upaya ini pernah dilakukan saat disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Dalam Pasal 7 huruf r pada beleid itu disebutkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Calon kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan garis keturunan pada satu tingkatan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana.
Hubungan dengan petahana yang dimaksud adalah ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Pencalonan baru dapat dilakukan setelah petahana melewati jeda satu kali masa jabatan. Aturan ini menjadi angin segar untuk mencegah lahirnya oligarki dalam pemerintahan daerah.
Sebab, hingga tahun 2014 atau sebelum aturan dalam UU ini dilahirkan, terdapat 59 kepala/wakil kepala daerah terpilih yang memiliki ikatan keluarga dengan petahana.
Sayangnya, aturan ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertimbangannya, MK menilai aturan itu bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Yang terjadi sentralisasi politik yang cenderung tertutup. Dalam praktiknya, pencalonan kepala daerah oleh partai memiliki banyak pertimbangan yang tidak digubris di ruang publik. Akibatnya, publik hanya menjadi subyek pasif dalam memilih calon yang telah ditentukan oleh partai.
Persoalan kaderisasi juga menjadi variabel yang mendorong lahirnya praktik politik dinasti. Kegagalan partai menghasilkan kader yang berkualitas berdampak pada dipilihnya jalan pintas dengan meminang calon yang memiliki popularitas. Pada beberapa wilayah, popularitas jamak dimiliki oleh keturunan tokoh politik, baik dalam elite lokal maupun nasional.
Faktor lainnya yang turut melahirkan dinasti politik adalah jaringan kekuasaan yang telah menyebar pada suatu kelompok tertentu. Jaringan kekuasaan ini mencakup segala lingkup, baik sosial maupun ekonomi. Jaringan ini melahirkan kesempatan untuk menciptakan kekuasaan yang langgeng dengan melibatkan orang-orang terdekat.
Dampak dari praktik politik kekerabatan tentu menjadi benih oligarki pada masa yang akan datang. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan stagnasi sekaligus menghambat proses konsolidasi demokrasi.
Dari sisi internal pemerintahan, lahirnya dinasti politik akan menyebabkan mandek-nya sirkulasi kekuasaan. Peralihan kekuasaan hanya akan berputar pada lingkungan elite semata.
Selain itu, jenjang kaderisasi politik juga harus dikorbankan dengan adanya praktik politik dinasti. Melalui sistem ini, tokoh yang dipilih hanyalah mereka yang memiliki modal kuasa untuk bertarung. Kondisi ini menggugurkan kandidat berkualitas, tetapi kalah dalam jejaring atau latar belakang keturunan.
Dari sisi eksternal, kontrol kekuasaan juga akan melemah seiring distribusi kekuasaan melalui praktik familisme. Apalagi, praktik ini dilakukan sekaligus pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Ruang penyimpangan kekuasaan seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme juga akan terbuka lebar jika praktik ini dibiarkan.
Dampak itu telah dirasakan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kasus korupsi di Tanah Air yang telah terungkap merupakan bagian dari dinasti politik di daerah. Fakta ini, tentu menunjukkan betapa dekatnya dinasti politik dengan penyalahgunaan wewenang.
Pada akhirnya, praktik politik kekerabatan yang melahirkan dinasti politik bukan hanya berada pada ranah hitam dan putih atau benar dan salah. Di baliknya, terselip nilai moral dan etika politik yang sangat menentukan masa depan dan proses konsolidasi demokrasi di tanah air.