Pernyataan pihak Perhutani seolah menjadi pengingat keras bagi LMDH untuk introspeksi. Bahwa tanggung jawab utama menjaga stabilitas organisasi dan menjalankan amanah kehutanan secara produktif bukan terletak di pundak Perhutani, melainkan mereka sendiri. Jika tak mampu menjaga soliditas internal, jangan salahkan jika kepercayaan dan kerja sama pelan-pelan mulai luntur.
KEDIRI – Di tengah riak konflik internal yang melanda dua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yaitu di Desa Manggis, Kecamatan Puncu, dan Desa Babadan, Kecamatan Ngancar. Perhutani memilih bersikap tegas namun menjaga jarak.
Hal ini disampaikan Wakil Kepala Administrasi Perhutani Kediri Utara, Bambang Ribudiono, saat diminta tanggapannya terkait dua masalah di atas. Bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan mencampuri urusan internal LMDH, karena posisi Perhutani hanya sebagai mitra dalam kerja sama pengelolaan hutan.
“Hubungan kami dengan LMDH bukan struktural, tapi kemitraan. Jadi ketika muncul konflik internal seperti rebutan jabatan, dualisme kepemimpinan, atau persoalan reorganisasi, itu sepenuhnya menjadi ranah mereka. Kami tidak punya hak ikut campur karena itu diatur dalam AD/ART mereka sendiri,” ujar Bambang saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (26/05).
Pernyataan ini sekaligus menjadi klarifikasi terhadap persepsi yang keliru di masyarakat, bahwa Perhutani bisa menjadi penengah atau pengambil keputusan dalam konflik LMDH. Padahal, menurut Bambang, segala bentuk kerja sama antara Perhutani dan LMDH diikat oleh dokumen formal, yakni Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Dalam perjanjian itu, posisi mitra ditegaskan, dengan hak dan kewajiban yang bersifat kontraktual termasuk soal bagi hasil dan skema pengelolaan kayu.
“Kami hanya bisa menghentikan kerja sama jika ada pelanggaran berat atau wanprestasi dari pihak LMDH. Di luar itu, tidak ada alasan hukum untuk membatalkan kemitraan secara sepihak,” tegasnya.
Namun tantangan yang dihadapi LMDH tidak berhenti di konflik internal. Bambang juga memaparkan bahwa saat ini ada perubahan regulasi besar dalam struktur kemitraan kehutanan. LMDH yang sebelumnya tunduk pada Peraturan Direktur (Perdir) 682, kini harus menyesuaikan diri dengan Perdir 13, yang menjadi dasar baru bagi skema Kemitraan Kehutanan Perhutani (KKP) dan Kemitraan Kehutanan Perhutani Produktif (KKPP).
Adaptasi ini hanya bisa dilakukan jika LMDH telah mengantongi izin Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK).
Menambah kompleksitas, sebagian kawasan hutan kini sudah tak lagi berada dalam otoritas Perhutani, melainkan berpindah ke skema Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang dikelola oleh Cabang Dinas Kehutanan (CDK). Artinya, lembaga masyarakat yang ingin terlibat dalam pengelolaan kawasan tersebut harus mengurus izin ke CDK dan Kementerian Kehutanan, bukan lagi ke Perhutani.
“Untuk wilayah KHDPK, kami tidak lagi punya kendali. Bahkan pengawasan pun dilakukan oleh CDK. Kami hanya menjalankan kontrak yang masih aktif,” jelas Bambang.
Ia pun mengingatkan, bahwa penting diketahui bagi semua pihak terutama LMDH untuk memahami posisi masing-masing. Jangan sampai konflik internal lembaga justru mengganggu kelangsungan kerja sama yang sebenarnya bisa memberi manfaat besar bagi masyarakat sekitar hutan.
“Kami hanya bisa bergerak sesuai dengan isi perjanjian. Jadi, kalau ada perpecahan atau rebutan posisi dalam LMDH, itu harus diselesaikan secara internal, sesuai mekanisme mereka. Kami tidak bisa dijadikan wasit,” pungkasnya.
jurnalis : Rohmat Irvan AfandiBagikan Berita :









