KEDIRI – Pendidikan gratis, yang seharusnya menjadi hak setiap anak negeri, kembali diteriakkan dengan lantang di depan Kantor Cabang Dinas Pendidikan (Cabdin) Wilayah Kediri, Kamis (21/8). Di bawah terik mentari dan bayang perjuangan, untuk keempat kalinya, Rekan Indonesia Jawa Timur turun ke jalan—mengusung harapan, memikul kegelisahan para orang tua yang dibebani biaya sekolah.
Bagus Romadon, Ketua KPW Rekan Indonesia Jatim, berdiri di garis depan aksi, menyuarakan keresahan yang tak kunjung mendapat jawaban. Menurutnya, praktik pungutan di sekolah negeri, baik di kota maupun kabupaten, masih kerap terjadi—menyisakan tanda tanya besar pada janji pendidikan gratis dari negara.
“Ini soal prinsip yang sederhana,” tegas Bagus. “Cabang Dinas cukup membuat surat edaran resmi bahwa uang komite bukan kewajiban, melainkan murni sukarela. Satu surat itu saja cukup untuk mengakhiri gelombang aksi kami.”
Namun hingga aksi keempat digelar, suara mereka masih dibalas sunyi. Bagus menyebut telah mengantongi sejumlah laporan dugaan pungutan liar dari sekolah negeri di Kota Kediri. Jika diam terus menjadi pilihan Cabdin dan Dinas Pendidikan Jawa Timur, maka langkah hukum akan segera ditempuh.
Tak berhenti di situ, kanal pengaduan online milik KPW terus dipadati. Jika sebelumnya tercatat 300 aduan, kini jumlahnya telah menembus 400 laporan—kisah-kisah sedih tentang “iuran sukarela” yang ternyata penuh paksaan. Ada ancaman penahanan ijazah, ada pula larangan mengikuti ujian—semuanya menjadi momok bagi siswa dan orang tua.
“Kami hanya ingin satu hal: pendidikan yang benar-benar gratis dan bebas dari tekanan. Bila sumbangan diperlukan, dasar hukumnya harus jelas. Jangan ada intimidasi dalam bentuk apa pun,” tegas Bagus lagi.
Hingga berita ini ditayangkan, Kepala Cabdin Wilayah Kediri, Adi Prayitno, masih belum merespons. Sementara itu, KPW Rekan Indonesia Jatim menegaskan: gelombang protes belum akan surut. Setelah mobil sehat, kini mereka menyiapkan mobil jenazah sebagai simbol perlawanan—penanda bahwa praktik pungutan bisa jadi telah “mematikan” semangat pendidikan yang seharusnya hidup dan menyala.
jurnalis : Anisa Fadila