KEDIRI – Langit malam di Lapangan Parkir Pagora Utara, Sabtu (8/11), bergemuruh oleh dentuman musik rock. Suara gitar melengking, drum berpacu, dan sorak penonton menyatu dalam satu ritme: kebebasan. Rock Day Fest 2025 bukan sekadar panggung musik, melainkan perayaan semangat muda dan keberanian untuk mengekspresikan diri — bahkan bagi mereka yang hidup dengan keterbatasan.
Gelaran ini menjadi oase bagi anak muda se-Jawa Timur untuk menyalurkan kreativitas dan menyalakan kembali bara musik rock di Kediri, kota yang sejak lama dikenal sebagai barometer rock nasional. Di tengah hiruk-pikuk era digital, festival ini menghadirkan napas baru: musik sebagai ruang inklusi dan penghormatan pada Hari Pahlawan Nasional.
Ketua Panitia, Yayan, menegaskan bahwa Rock Day Fest 2025 bukan sekadar kompetisi band biasa, melainkan wadah pembelajaran dan perjalanan menuju kematangan musikal.
“Kami ingin adik-adik punya ruang berkembang. Ini bukan sekadar lomba, tapi juga tempat untuk belajar, berproses, dan menemukan jati diri lewat musik,” ujarnya.
Lebih dari itu, Yayan menekankan pentingnya menjaga api rock di Kediri agar tak padam oleh waktu.
“Kediri sejak dulu dikenal sebagai kota rock. Dari sinilah lahir band-band besar seperti CB Band, Mushroom, dan Daun Band. Identitas itu harus kita jaga agar tetap menyala,” katanya dengan penuh keyakinan.
Tahun ini, kualitas peserta dinilai luar biasa. Didukung teknologi digital modern, setiap penampilan terdengar lebih matang dan megah. Pemerintah Kota Kediri melalui Disbudparpora turut memberikan dukungan penuh — sebuah sinyal bahwa musik tak sekadar hiburan, tapi juga ruang pembentukan karakter dan kebanggaan daerah.
Namun malam itu, ada satu penampilan yang membuat seluruh arena terdiam lalu berdiri: Santoro Band. Enam sosok dengan semangat baja naik ke panggung, memecah batas yang sering kali tak terlihat. Vokalis dengan low vision, pemain keyboard dengan disabilitas intelektual, hingga tiga personel yang total blind — semuanya menjahit nada dengan keberanian.
Zilus, salah satu pendamping mereka, menceritakan perjuangan band ini dengan nada kagum.
“Mereka tetap tampil penuh percaya diri, meski harus membatasi gerakan agar tak pusing. Vokalisnya low vision, tapi suaranya bisa menggetarkan hati siapa pun,” ujarnya.
Santoro Band bukan hanya tampil; mereka mengguncang kesadaran. Musik bagi mereka bukan sekadar seni, tapi pernyataan bahwa keterbatasan bukan tembok — hanya tantangan yang bisa ditaklukkan dengan tekad dan cinta pada panggung.
“Kami ingin memberi ruang bagi teman-teman disabilitas agar bisa menyuarakan diri mereka melalui musik,” ucap Yayan, menegaskan semangat inklusif festival ini.
Malam ditutup dengan dentuman nostalgia dari Roy Jeconiah, mantan vokalis Boomerang, yang menyalakan kembali kenangan tentang masa keemasan rock Indonesia. Sorotan lampu panggung menyinari wajah-wajah muda yang penuh semangat, sementara gema musik terakhir menguap ke langit Kediri — membawa pesan sederhana namun kuat: musik rock belum mati, hanya berevolusi menjadi lebih manusiawi.
Rock Day Fest 2025 bukan sekadar festival; ia adalah manifesto. Tentang keberanian untuk bersuara, tentang ruang bagi semua, dan tentang keyakinan bahwa semangat pahlawan tak hanya hidup di medan perang — tapi juga di panggung, di nada, dan di hati mereka yang memilih untuk tidak menyerah.









