KEDIRI – Proses dibuatnya Peraturan Daerah Disabilitas di Kabupaten Jember, tidak lepas dari semangat para penyandang disabilitas dalam berjuang. Hingga akhirnya disetujui dan mendapatkan apresiasi dari Menteri Sosial RI saat itu dijabat Khofifah Indar Parawansa. Hal ini menjadikan DPRD Kabupaten Kediri mengajak perwakilan disabilitas, untuk menimba ilmu pengetahuan dan berbagi pengalaman berkajh dari perjuangannya.
Studi banding digelar selama dua hari, mengajak 15 perwakilan disabilitas didampingi Wakil Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Kediri, Lutfi Mahmudiono. “Studi banding ke Jember ini untuk belajar dan mematangkan sebelum pembahasan dalam Pansus Raperda Disabilitas di Kabupaten Kediri. Karena sekarang kita belum punya, sehingga kemarin kami dari Partai NasDem mengajukan hak inisiatif Raperda Disabilitas,” Lutfi Mahmudiono yang juga menjabat Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Kediri.
Dukungan penuh diberikan DPRD, menjadi semangat tersendiri setelah studi banding digelar Kamis dan Jumat, tanggal 27 – 28 Januari 2020. Diharapkan dalam waktu dekat segera disahkan menjadi peraturan daerah. “Kami akan terus kawal supaya segera dibentuk Pansus dan raperda ini hingga paripurna untuk disahkan menjadi Perda,” jelasnya.
Ketua Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri (PDKK), Umi Salamah, menyampaikan tujuan studi banding supaya dapat berbagi pemikiran dengan sesama difabel. “Kami ingin tahu perjuangan teman-teman di Jember membuat Perda, dan bagaimana mengimplementasikannya. Semangat yang terpenting dari disabilitas sendiri untuk mengubah kemandirian,” ucap Umi.
Kehadiran rombongan ini disambut Sekretaris Komisi B DPRD Kabupaten Jember, David Handoko Seto dan mantan Ketua DPRD Jember, Thoif Zamroni. Dua diantara para tokoh politik yang turut terlibat dalam pembuatan Peraturan Daerah Jember Nomor 7 Tahun 2016. Berisi tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Menurut David, beberapa tahun lalu inisiatif awal membuat Perda Disabilitas memang murni berasal dari keinginan kaum difabel sendiri. DPRD yang kemudian menindaklanjuti usulan mereka. “Mas Antok, Mas Kusbandono, dan kawan-kawan datang ke DPRD sudah punya bahan matang berupa draft naskah akademik. Sungguh-sungguh niatnya ingin punya Perda Disabilitas,” ucapnya saat menyambut rombongan.
Lebih lanjut David menjelaskan, beberapa masalah yang dihadapi difabel Jember terungkap dalam forum tersebut. Seperti problem tidak sesuainya antara isi peraturan dengan kenyataan. Misalkan, lanjut David, jelas diamanahkan ada kuota pekerja bagi difabel yang direkrut oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Tapi, difabel yang diterima bekerja justru ditempatkan dalam pos pekerjaan yang sulit dilakukan.
“Ada minimarket pekerjakan difabel di pergudangan untuk angkut-angkut, dan PNS difabel yang basic-nya guru dan harus jalan pakai tongkat oleh Bupati Jember, masih dijabat Faida, malah dijadikan Satpol PP. Yang seperti itu butuh pengawalan supaya Perda tidak jadi macan kertas,” ulas David.
Beberapa kali digelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk menggalang dukungan politik. Akhirnya seluruh fraksi menyepakati draft Raperda masuk dalam program legislasi daerah.“Walaupun secara tertulis untuk kepentingan administrasi tertera sebagai Perda inisiasi Fraksi NasDem,” ujar David.
Sedangkan mantan Ketua DPRD Jember, Thoif Zamroni menerangkan, proses pembahasan Raperda Disabilitas di Jember kemarin tidaklah sepenuhnya berjalan mulus. DPRD mendapatkan materi naskah akademik dari Lembaga Penelitian Universitas Jember (Unej) yang justru berbeda dibandingkan dengan usulan kaum difabel semula.
“Saya Ketua Pansus, DPRD bekerjasama dengan Lemlit Unej, dan kami sampaikan untuk mengakomodasi difabel. Tapi, lama penyerahan naskah akademik, lalu kami dihubungi ternyata difabel tidak dilibatkan. Sampai ramai ada berita masalah plagiat, hampir tiap hari DPRD digeruduk difabel,” terang Thoif. Beliau juga mengingat, konflik difabel dengan Lemlit Unej dimediasi oleh Nurul Ghufron, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum.
Kesepakatan pun diraih dengan komitmen merubah total naskah akademik buatan Lemlit Unej, meski sudah menelan biaya sekitar Rp300 juta. Tujuannya untuk mengakomodasi seluruh pemikiran dari sejumlah organisasi difabel yang sejak awal menjadi inisiator. Disamping itu, Thoif mengijinkan perwakilan difabel ikut dalam setiap rapat pembahasan yang semestinya hanya berisi anggota dewan. Hal demikian baru terjadi sepanjang sejarah legislasi daerah.
“Sungguh kenangan yang tidak terlupakan. Bahkan, kala itu ada 8 Raperda, sebanyak 7 Perda selesai, tapi Raperda Disabilitas belum selesai saking dinamisnya, teman-teman difabel ikut bahas pasal per pasal. Setelah selesai, saya serahkan sendiri ke Ibu Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial. Saya katakan: Ini Bu, Perda Disabilitas pertama di Indonesia,” urai Thoif.
Editor : Nanang Priyo Basuki