KEDIRI – Ekosistem ekonomi baru di wilayah selatan Jawa Timur mulai tumbuh pesat seiring beroperasinya Bandara Dhoho. Hal ini mengemuka dalam Panel Discussion bertema “Accessibility, Infrastructure, dan Market Potential” yang berlangsung di bandara tersebut pada Kamis (11/12). Para pembicara sepakat bahwa bandara ini kini memainkan peran strategis sebagai motor penggerak ekonomi baru, meliputi sektor logistik, perdagangan, pariwisata, hingga layanan haji dan umrah.
Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, mengungkapkan bahwa Kediri tengah memasuki masa bonus demografi dengan jumlah penduduk sekitar 301 ribu jiwa. Ia menegaskan bahwa Bandara Dhoho menjadi instrumen penting untuk mempercepat distribusi berbagai komoditas lokal.
“Dengan adanya bandara, distribusi komoditas yang sebelumnya mengandalkan jalur laut dapat berlangsung jauh lebih cepat dan efisien,” ujarnya.
Vinanda memaparkan bahwa industri pengolahan masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDRB—yakni 79,64 persen—diikuti sektor perdagangan, akomodasi, dan kuliner. Ekosistem ini diperkuat oleh keberadaan hotel, restoran, pusat pendidikan, serta distribusi sayur dari Pasar Ngronggo yang telah menjangkau berbagai daerah di Indonesia.
“Hadirnya Bandara Dhoho merupakan momentum penting untuk memperkuat daya saing ekonomi Kediri Raya sekaligus menarik lebih banyak investor,” tambahnya.
Tak hanya ekonomi, ia juga menyoroti pertumbuhan sektor budaya dan pariwisata. Kunjungan wisatawan melonjak dari 721 ribu pada 2020 menjadi sekitar 1,758 juta pada 2024—ditopang oleh destinasi sejarah, kawasan Selomangleng, dan ikon budaya seperti pecut Samandiman. Pemkot Kediri juga terus menguatkan infrastruktur melalui penataan PKL, peningkatan jalan, revitalisasi kawasan stasiun, pengembangan transportasi menuju bandara, serta fasilitas ramah disabilitas.
Dari perspektif layanan haji dan umrah, Hj. Eliana dari Kanwil Kemenag Jawa Timur menilai Bandara Dhoho berpeluang besar menjadi titik keberangkatan jemaah dari wilayah Selingkar Wilis dan Mataraman.
“Waiting list jemaah haji di Jawa Timur mencapai 1,1 juta, sekitar 20 persen dari nasional. Ini peluang raksasa bagi Bandara Dhoho,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa keberangkatan dari Kediri akan memberikan multiplier effect bagi hotel, transportasi, hingga UMKM. Namun kesiapan maskapai dan kepastian jadwal penerbangan menjadi faktor kunci agar tidak terulang pengalaman penundaan yang pernah terjadi di masa lalu.
“Jika jadwal pasti, harga kompetitif, dan maskapai siap, travel pasti melirik pemberangkatan dari Dhoho,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Logistik Internasional DPW ALFI Jatim, Iko Sukma Hadriadianto, melihat Dhoho sebagai pintu strategis ekspor daerah melalui konsep integrated airport.
“Kami ingin eksportir asli Kediri tumbuh. Jangan sampai komoditas lokal justru tercatat sebagai ekspor dari kota lain,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meski belum memiliki penerbangan internasional reguler, ekspor tetap bisa dilakukan melalui sistem kepabeanan yang sudah mendukung port code IDDX. Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di kawasan bandara juga segera beroperasi, sementara pelayanan Bea Cukai Kediri tengah berproses naik kelas menuju Tipe Madya Pabean.
“Bandara Dhoho bukan hanya tempat pesawat lepas landas, tetapi pusat ekonomi baru yang terkoneksi secara global,” tandasnya.
Seluruh pandangan tersebut menegaskan bahwa Bandara Dhoho kini menjadi katalis penting dalam mempercepat mobilitas dan membangun ekosistem ekonomi baru—mulai dari logistik, perdagangan, pariwisata, hingga penyelenggaraan haji dan umrah—yang memperkuat posisi Kediri Raya sebagai pusat ekonomi potensial di selatan Jawa Timur.









