KEDIRI — Eksekusi dua bidang lahan di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, berlangsung dengan dinamika berbeda pada Kamis (08/04), sebagai bagian dari pembangunan Jalan Tol Kediri–Tulungagung yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Lahan pertama atas nama Sumini, warga RT 12/RW 04, Kelurahan Mojoroto, berhasil dieksekusi tanpa hambatan. Proses pengosongan berjalan lancar di bawah pengawasan petugas terkait.
Namun, suasana berbeda terjadi pada lahan kedua milik Imam Mashadi, warga RT 10/RW 12, Kelurahan Bujel. Eksekusi lahan seluas 304 meter persegi ini berlangsung panas dan mendapat penolakan dari pihak termohon dan penasihat hukumnya.
Maslik Hanim, selaku penasihat hukum Imam Mashadi, menyampaikan keberatan atas proses eksekusi tersebut. Ia menilai eksekusi tidak memenuhi prosedur hukum karena sebagian dari lahan belum dibebaskan secara menyeluruh.
“Kami keberatan karena objek eksekusi belum dibebaskan seluruhnya. Dari total 304 meter persegi, masih ada 24 meter persegi yang belum dibayar. Konsinyasi yang masuk ke pengadilan hanya sebesar 280 meter persegi,” ujar Maslik.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya telah mengajukan perlawanan eksekusi yang saat ini sedang dalam proses peradilan. Menurutnya, tindakan eksekusi yang dilakukan sebelum adanya putusan berkekuatan hukum tetap merupakan pelanggaran hukum.
Imam Mashadi sendiri, sebagai salah satu ahli waris, menyampaikan bahwa dirinya tidak sepakat atas pelepasan lahan tersebut. Dari tiga ahli waris, hanya dua yang menyetujui. Ia juga menyoroti ketimpangan nilai ganti rugi yang diterimanya.
“Tanah saya dihargai Rp1,3 juta per meter, padahal tanah di samping saya yang statusnya tanah perkebunan malah dihargai Rp1,8 juta. Ini jelas tidak adil,” tegas Imam.
Sementara itu, Berly, Panitera Pengadilan Negeri Kediri yang hadir dalam eksekusi, menyatakan bahwa pihak pengadilan terbuka terhadap keberatan dan upaya hukum lebih lanjut dari pihak termohon.
“Silakan ajukan keberatan melalui proses hukum yang tersedia. Jika nanti dalam prosesnya pihak termohon menang, kami siap mengeksekusi pemulihan,” jelas Berly.
Eksekusi ini menjadi pengingat bahwa dalam pelaksanaan proyek infrastruktur strategis, kecepatan pembangunan harus diimbangi dengan perlindungan hak-hak warga, kejelasan prosedur, dan kepastian hukum. Tanpa itu, potensi konflik dan penolakan publik akan terus mengiringi langkah pembangunan.
Jurnalis: Anisa Fadila