para terdakwa saat ujian Lapas (istimewa)

Vonis Ringan Empat Pelajar Kasus Kerusuhan Kediri: Antara Ikut-Ikutan Tren dan Harapan Masa Depan

Bagikan Berita :

KEDIRI – Jumat (3/10) siang, ruang sidang Pengadilan Negeri Kediri dipenuhi suasana yang berbeda. Empat pelajar belia, berinisial DA, CF, DR, dan FP, berdiri di hadapan hakim tunggal Kiki Yuristian, S.H., M.H. dengan wajah tegang. Mereka bukan kriminal dewasa, melainkan anak-anak sekolah yang terseret dalam kasus kerusuhan dan penjarahan.

Putusan pun dibacakan: satu bulan lima belas hari penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Blitar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang semula meminta dua bulan kurungan. Hakim mempertimbangkan usia muda, niat yang tidak sepenuhnya lahir dari kesadaran, serta fakta bahwa mereka hanya ikut-ikutan dalam pusaran kerusuhan yang terjadi.

Keempat pelajar terbukti melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-2 dan ke-4 KUHP serta UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Barang bukti yang dihadirkan antara lain satu unit sepeda motor Honda Beat dan sebuah plakat besi bertuliskan “Tanah Aset Milik Pemerintah Kabupaten Kediri” dengan nilai taksiran Rp3,19 juta.

Hakim memutuskan barang bukti dikembalikan kepada pemilik masing-masing, sementara orang tua terdakwa hanya diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp5.000—sebuah angka simbolis di tengah beban moral yang jauh lebih berat.

“Hanya Ikut-Ikutan, Bukan Berniat”

Penasihat hukum terdakwa, Moh. Rofian, mengaku lega mendengar putusan ini.

“Alhamdulillah, hakim mempertimbangkan fakta bahwa anak-anak ini tidak berniat merusak. Mereka hanya ikut-ikutan, istilahnya FOMO, terbawa tren yang bahkan viral di media sosial,” jelasnya.

Hal senada disampaikan rekan kuasa hukum, Mahendra Adi Bintoni, yang menekankan bahwa nilai kerugian pun tidak sebesar yang dituntut jaksa.

“Jaksa menyebut Rp3,1 juta, tapi menurut saksi ahli kami kerugian hanya sekitar Rp900 ribu. Mereka melakukan bukan karena kesengajaan jahat, melainkan sekadar ikut tren, bahkan sebagian tindakannya diunggah ke TikTok,” tegas Mahendra.

Ujian Sekolah yang Tertunda

Di luar vonis, ada persoalan lain yang tak kalah penting: masa depan pendidikan mereka. Kuasa hukum mengajukan permohonan agar keempat anak diberi kesempatan menyelesaikan ujian sekolah di Lapas Kediri sebelum dipindahkan ke Blitar.

“Mereka baru menempuh empat mata pelajaran, masih ada enam lagi yang belum. Jangan sampai kasus ini merampas hak pendidikan mereka,” pinta Mahendra.

Permohonan ini sekaligus menjadi refleksi, bahwa dalam setiap kasus anak berhadapan dengan hukum, ada masa depan panjang yang harus tetap dijaga.

Putusan ini menegaskan prinsip peradilan anak yang lebih mengutamakan pembinaan daripada hukuman. Sebab, mengurung anak tanpa memberikan ruang perbaikan hanya akan melahirkan generasi yang patah sebelum tumbuh.

Dalam hal ini, hakim berusaha menyeimbangkan antara memberi efek jera dan membuka jalan bagi anak-anak untuk kembali ke bangku sekolah, ke keluarganya, dan ke masyarakat.

Bebas Sepuluh Hari Lagi

Karena sudah menjalani masa tahanan sejak 2 September 2025, keempat pelajar ini diperkirakan akan bebas dalam waktu sekitar sepuluh hari ke depan. Putusan itu, meski meninggalkan catatan kelam, diharapkan menjadi titik balik bagi mereka untuk menata ulang langkah hidup.

Kasus ini juga menjadi peringatan keras bagi generasi muda di era digital. Bahwa “ikut-ikutan tren” atau sekadar ingin eksis di media sosial bisa berujung pada jeruji besi.

Perkara empat pelajar ini bukan sekadar persoalan hukum. Ia adalah potret rapuhnya remaja di hadapan arus tren dan euforia digital. Vonis ringan dari hakim memang melegakan, namun juga menantang kita semua untuk lebih serius mengawal pendidikan karakter, literasi digital, dan kesadaran hukum di kalangan anak muda.

Sebab, masa depan mereka bukan hanya tanggung jawab keluarga, tapi juga masyarakat dan negara.

jurnalis : Neha Hasna Maknuna
Bagikan Berita :