KEDIRI – Penanganan kasus kerusuhan yang pecah pada 30 Agustus 2025 di Kota Kediri memasuki babak baru. Setelah menetapkan Saiful Amin (SA) sebagai tersangka dengan tuduhan provokasi, Polres Kediri Kota dikabarkan kembali menjerat seorang aktifis lain berinisial Shelfin Bima (SB), yang diketahui aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kediri.
Penetapan SB sebagai tersangka telah dilakukan tiga hari lalu. Ia dikenai Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal yang kerap diperdebatkan penggunaannya karena dinilai rawan mengekang kebebasan berpendapat. Kini, baik SA maupun SB tengah menghadapi proses hukum di Polres Kediri Kota.
Sejumlah lembaga bantuan hukum turun tangan turun memberikan pendampingan, di antaranya LBH Surabaya, LBH Al-Faruq, dan LBHI. Mereka dihadapan para jurnalis menegaskan, bahwa tuduhan terhadap kedua aktifis itu berlebihan.
“SB hanya menyuarakan keresahan masyarakat, bukan menghasut untuk membuat rusuh. Harapan kami, penyidik tidak melakukan penahanan,” tegas Elsa dari LBH Surabaya, saat dikonfirmasi Kamis (18/9) di Halaman Mapolres Kediri Kota.
Senada, Direktur LBH Al-Faruq, Taufik Dwi Ismail, menyebut penetapan SB sebagai tersangka tidak semestinya diikuti penahanan. “SB sangat kooperatif. Polisi seharusnya lebih fokus mengungkap dalang sebenarnya, bukan menyalahkan aktivis yang hanya bersuara,” ujarnya.
Gelombang solidaritas untuk SA dan SB dikabarkan terus mengalir. Sebuah petisi pembebasan SA yang beredar secara daring kini sudah ditandatangani sekitar 3.000 orang. Petisi tersebut rencananya akan disampaikan ke Polres Kediri Kota dan Komnas HAM.
Sebelumnya, upaya penangguhan penahanan juga dilakukan dengan menghadirkan 70 penjamin dari beragam latar belakang, termasuk anggota DPD Provinsi Jawa Timur, tokoh agama, akademisi, hingga mahasiswa.
“SA dan SB bukan pelaku kerusuhan, apalagi pembakaran atau penjarahan gedung DPRD. Mereka adalah pejuang demokrasi dan hak asasi manusia. Tuduhan ini jelas keliru,” tegas Taufik.
Polisi Diminta Transparan
Hingga kini, penyidik Polres Kediri Kota masih mendalami kasus ini. Namun kalangan pegiat hukum menilai langkah polisi cenderung represif terhadap suara kritis, alih-alih membongkar aktor intelektual kerusuhan.
Para pendamping hukum mendesak agar proses ini tidak dilanjutkan ke pengadilan.
“Kasus ini seharusnya dihentikan. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia,” ujar salah satu tim LBH.
Kasus ini dipandang sebagai ujian serius bagi kepolisian: apakah mampu menegakkan hukum dengan adil, atau justru memperkuat stigma kriminalisasi terhadap aktifis yang bersuara untuk rakyat. Hingga berita ini diturunkan pihak Polres Kediri Kota belum berkenan memberikan keterangan. Didapat kabar Kasat Reskrim AKP Cipto Dwi Leksana tengah mendampingi kegiatan Kapolres Kediri Kota AKBP Anggi Saputra Ibrahim di Mapolda Jatim.