foto : Anisa Fadila

Pesta Rakyat Penuh Makna: “Mancing Sarungan” Rayakan Hari Santri dengan Guyub Rukun

Bagikan Berita :

KEDIRI – Minggu pagi yang teduh, kolam pancing Omah Sawah, Kelurahan Burengan, berubah menjadi lautan tawa dan kebersamaan. Ratusan warga berbalut sarung berjejer di tepian kolam, memegang kail dengan sabar, ember di sisi, dan senyum di wajah. Setiap kali ikan lele menyambar umpan, sorakan pecah—bukan karena kemenangan, tapi karena rasa gembira yang menular di antara mereka.

Begitulah suasana Mancing Sarungan, sebuah pesta rakyat yang sederhana namun sarat makna. Kegiatan ini menjadi cara masyarakat Kediri memperingati Hari Santri 2025—dengan cara yang membumi, hangat, dan penuh nilai kebersamaan.

Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati, usai mengikuti Touring Religi bersama Ketua PCNU KH. Abu Bakar Abdul Jalil (Gus Ab), turut hadir dan langsung berbaur dengan warga. Tanpa jarak, ia menyapa satu per satu peserta, menyerap keceriaan yang melingkupi udara pagi itu.

“Tadi saya dengar, ikannya dua ton. Luar biasa! Siapa yang dapat paling banyak, ya dibawa pulang saja, mungkin bisa dijual ke pasar,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Namun, bagi Vinanda, kegiatan ini bukan sekadar hiburan. Ia melihatnya sebagai ruang pertemuan antara tawa dan nilai, tempat masyarakat merasakan indahnya kebersamaan tanpa sekat, tanpa lomba yang kaku, hanya kegembiraan yang tulus.

Di sisi lain kolam, Gus Ab berjalan perlahan di antara peserta. Tatapannya teduh, senyumnya tak lepas. Ia memaknai kegiatan ini lebih dari sekadar memancing ikan.

“Filosofi dari mancing ini sederhana tapi dalam,” ujarnya pelan. “Untuk mencapai hasil, dibutuhkan ketelatenan, kesabaran, dan ketenangan hati. Tidak bisa sekali lempar langsung dapat. Sama seperti hidup.”

Sebanyak dua ton ikan lele ditebar ke kolam—tanpa kompetisi, tanpa pemenang. Setiap orang bebas membawa pulang hasil tangkapannya. Tak ada tiket, tak ada timbangan, hanya suasana guyub yang merayakan keikhlasan.

“Kalau dapat satu ya dibawa satu, dapat sepuluh ya sepuluh. Semuanya gratis,” tambah Gus Ab, sambil tertawa kecil.

Beberapa warga duduk bersila di atas tikar, sebagian berdiri menanti umpan disambar. Di antara mereka, Rokis, warga Corekan, tampak sumringah.

“Saya datang dari jam setengah sebelas. Mulai mancing pas ikan ditabur, pakai umpan jangkrik. Sudah dapat tiga, semoga nambah dua lagi,” katanya ringan.

Mancing Sarungan bukan sekadar kegiatan, tapi metafora kehidupan. Di dalamnya tersimpan pelajaran yang sering terlupa: bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari hasil besar, melainkan dari proses yang dijalani dengan sabar dan hati yang ikhlas.

Dari tepi kolam itu, Kediri menulis ulang makna Hari Santri—bukan lewat upacara megah atau pidato panjang, melainkan melalui tawa, kesabaran, dan rasa syukur yang membasuh hari. Sebuah pesta rakyat yang sederhana, namun meninggalkan kesan mendalam tentang harmoni dan kemanusiaan.

jurnalis : Anisa Fadila

Bagikan Berita :