KEDIRI – Dalam nuansa pagi yang sejuk, semangat ratusan peserta berpadu di halaman Kediri Town Square. Di bawah langit cerah Minggu (9/11), deru mesin motor bersahutan dengan lantunan shalawat, menandai dimulainya touring religi yang digelar oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kediri.
Tak sekadar perjalanan di atas roda, kegiatan ini menjadi simbol perpaduan antara kecintaan pada otomotif dan kerinduan spiritual. Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, yang akrab disapa Mbak Wali, secara resmi melepas keberangkatan para peserta dengan senyum hangat dan pesan mendalam.
“Touring ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan hati. Kita berziarah mengenang para tokoh yang telah menanamkan nilai-nilai luhur di Kota Kediri, sekaligus mempererat tali silaturahmi antarpecinta otomotif,” tutur Mbak Wali penuh makna.
Kegiatan diawali dengan senam bersama Fatayat NU, simbol energi dan kebersamaan, sebelum peserta memutar gas menuju titik-titik ziarah. Rute touring religi kali ini menyusuri jejak spiritual para ulama besar: Makam K.H. Douglas Toha Yahya (Gus Lik) di Kelurahan Jamsaren, Makam Banjarmlati, Makam Ulama Lirboyo, hingga Makam Setono Gedong (Syeh Wasil) — penjaga sejarah dan pelita spiritual Kediri.
Perjalanan kemudian berlabuh di Omah Sawah Burengan, tempat peserta menutup hari dengan kegiatan mancing bareng. Di balik kesederhanaan itu, tersimpan filosofi mendalam: tentang kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan dalam menunggu hasil.
Momentum Refleksi

Ketua PCNU Kota Kediri, K.H. Abu Bakar Abdul Jalil, menyebut kegiatan ini sebagai momentum refleksi dan penghormatan.
“Hari ini kita menyusuri jejak para ulama yang telah menorehkan peran besar bagi Kediri. Melalui touring dan mancing bersama ini, kita belajar tentang sabar, syukur, dan semangat santri yang tak pernah padam,” ungkapnya.
Touring religi ini tak hanya memupuk spiritualitas, tapi juga menyalakan kembali semangat kebersamaan lintas komunitas. Bagi para peserta, setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti zikir panjang — mengenang, menghormati, sekaligus meneladani.
Dari deru mesin hingga hening doa di makam para ulama, touring religi ini menjadi perayaan hidup yang penuh keseimbangan: antara dunia dan akhirat, antara hobi dan pengabdian, antara langkah manusia dan tuntunan ilahi.
Kediri hari itu bukan sekadar kota yang dilintasi — ia menjadi saksi, bahwa semangat santri tetap hidup dalam setiap detak kehidupan masyarakatnya.









