KEDIRI – Hadirnya Bandara Dhoho di Kabupaten Kediri membawa angin segar bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya wilayah selatan, yang selama ini minim akses transportasi udara langsung. Sebagai proyek strategis nasional, bandara ini diharapkan menjadi pintu gerbang baru yang menghubungkan 13 kota / kabupaten di Jatim dengan lebih cepat dan efisien.
Namun di balik harapan besar itu, muncul pertanyaan krusial: apakah pemerintah siap benar-benar hadir dan mendukung operasionalnya?
Pengamat transportasi dari Universitas Surabaya, Prof. Dr. Ir. Dadang Supriyatno, MT., IPU., ASEAN Eng., menyampaikan pandangannya dengan cukup tajam. Menurutnya, Bandara Dhoho memiliki posisi strategis dalam membuka jalur udara alternatif di luar Bandara Juanda Surabaya, yang selama ini menjadi pusat utama penerbangan di Jatim.
“Ini momentum penting untuk mendiversifikasi akses udara di Jawa Timur. Tidak semuanya harus berpusat di Surabaya,” ujar Prof. Dadang saat ditemui Jumat kemarin.
Namun, ia menekankan bahwa kehadiran bandara tidak otomatis menciptakan pasar. Pemerintah perlu turun tangan secara aktif, mulai dari pemetaan rute potensial, penyediaan konektivitas darat, hingga pengaturan wilayah udara yang masih tumpang tindih dengan kawasan latihan militer Lanud Iswahjudi.
Sebagai pelajaran, Prof. Dadang menyoroti pengalaman Bandara Banyuwangi yang sempat sepi penumpang dan nyaris tak beroperasi secara optimal. Namun kondisi itu berubah ketika pemerintah pusat secara konkret turun tangan, memetakan rute strategis, dan mendorong maskapai membuka penerbangan baru. Hasilnya, Banyuwangi kini menjadi salah satu bandara yang tumbuh paling cepat.
“Kalau pemerintah hanya menandatangani proyek tapi tidak hadir dalam pengembangan pasarnya, ya maskapai tidak akan tertarik. Jangan biarkan mereka berjuang sendiri,” kritiknya.
Ia pun mendorong agar konsep operasional Bandara Dhoho dikaji ulang secara menyeluruh, melibatkan para pakar dan akademisi. Tujuannya, agar seluruh potensi masalah bisa teridentifikasi sejak dini dan diselesaikan bersama, termasuk konflik wilayah udara dan minimnya dukungan konektivitas dari dan menuju bandara.
“Dibutuhkan intervensi serius dari pemerintah pusat. Tidak cukup hanya meresmikan, tapi juga duduk bersama para pemangku kepentingan agar bandara ini benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya,” tegasnya.
Perlu Dukungan Pemerintah

Perlu diketahui, Bandara Dhoho dibangun tanpa menggunakan anggaran negara. Proyek ini sepenuhnya digagas dan didanai oleh sektor swasta, yakni PT Surya Dhoho Investama, anak perusahaan PT Gudang Garam Tbk. Secara teknis, bandara ini tergolong megah.
Memiliki landasan pacu sepanjang 3.300 meter, apron komersial seluas 548 x 141 meter, apron VIP, empat jalur taxiway, dan area parkir seluas 37.000 meter persegi. Terminal penumpangnya pun mampu melayani hingga 1,5 juta penumpang per tahun.
Selain memperluas konektivitas regional, Bandara Dhoho diharapkan menjadi penggerak ekonomi, pariwisata, dan kegiatan keagamaan di kawasan selatan Jatim. Bahkan, muncul harapan untuk membuka rute langsung penerbangan Umrah dari Kediri, demi memberi kemudahan bagi masyarakat tanpa harus transit ke kota lain.
Namun satu hal yang pasti, keberhasilan Bandara Dhoho tak hanya soal bangunan fisik atau data teknis. Ia akan bergantung pada seberapa serius pemerintah bersinergi dengan pihak swasta dan masyarakat dalam menghidupkan operasionalnya.
jurnalis : Nanang Priyo BasukiBagikan Berita :









