Site icon kediritangguh.co

Akhirnya Pemilik Lahan Terdampak Jalan Tol Melintas di Kabupaten Kediri Diberi Dua Pilihan, Terima Ganti Rugi atau Diselesaikan di Pengadilan

Suasana musyawarah ketiga digelar di Balai Desa Ngablak (Sigit Cahya Setyawan)

KEDIRI – Masalah pembebasan tanah untuk pembanguan ruas jalan tol Kediri – Kertosono, diantaranya melintas di Desa Ngablak Kecamatan Banyakan, dan Desa Bakalan Kecamatan Grogol, terus berlarut sejak tahun lalu. Dalam musyawarah ketiga, digelar hari ini (10/09), di Balai Desa Ngablak. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri, akhirnya memberikan dua pilihan terhadap warga yang belum sepakat.

Dua pilihan tersebut, adalah sepakat dengan melengkapi berkas tanah sebelum 24 September 2024. Atau permasalahan ini akan diselesaikan melalui jalur konsinyasi di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri.

Terdapat delapan bidang tanah yang belum terselesaikan dengan rincian 4 lahan di Desa Ngablak dan 4 lahan di Desa Bakalan. Dari sejumlah lahan tersebut, sebagian bersar karena persoalan internal seperti warisan dan wakaf.

“Kendalanya kebanyakan masalah warisan dan wakaf. Selain itu, soal harga juga jadi masalah karena perhitungan nilai tanah dipengaruhi banyak faktor. Kalau warga setuju,  segera proses pemberkasan dan dalam seminggu uang bisa dicairkan karena uang sudah siap,” ungkap Yulianto Dwi Prasetyo, Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kediri.

Prasetyo juga menjelaskan bahwa dari 485 bidang tanah yang terdampak proyek tol Kediri-Kertosono, 341 bidang atau sekitar 70,3% sudah dibebaskan. Lima desa yang terdampak proyek ini adalah Desa Banyakan, Maron, Ngablak, Sendang, serta Desa Bakalan.

Sementara, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Tol Kediri-Kertosono, Kartika Sari, menjelaskan. Bahwa secara keseluruhan, progres pembebasan tanah untuk tol Kediri-Kertosono telah mencapai 56%, dengan target mencapai 90% pada Desember mendatang.

Disinggung terkait masalah tanah wakaf, Kartika menyebut banyak masyarakat yang hanya melakukan wakaf secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf (IAW).

“Jika tidak ada IAW, tanah tersebut dianggap milik pribadi dan akan diganti dengan uang. Namun, jika ada IAW, tanah wakaf akan diganti dengan tanah lain dan bangunan jika ada di atasnya,” jelas Kartika.

Salah satu warga, Laili Fitriana, masih menuntut penjelasan terkait perbedaan harga tanah lahan tebu miliknya dengan tanah disampingnya yang mencapai selisih Rp 200 ribu per meter.

“Kami hanya ingin penjelasan agar tidak timbul asumsi yang salah. Kami sudah menerima penjelasan. Selanjutnya kami akan bermusyawarah dengan keluarga,” tuturnya.

Jurnalis : Sigit Cahya Setyawan
Editor : Nanang Priyo Basuki
Exit mobile version